Aku Papua (Chapter 4 – Kantong Ajaib)

Digital Camera

Sambungan Aku Papua Chapter 3. .

. .selepas bertemu dengan kepala desa, terus terang rasa khawatir mulai muncul. Ternyata prediksi bahwa kami akan mendapatkan sambutan hingar bingar dari masyarakat setempat sepertinya jauh dari kenyataan. Saat itu, tidak banyak warga yang ingin berbicara dengan kami. Bahkan, beberapa diantara mereka justru berlari menjauh ketika kami dekati.

Kekhawatiran itu sempat hilang setelah keesokan harinya kami diundang untuk jalan-jalan ke kota sekaligus bertemu dengan Bupati.

Rumah Bupati terletak di tengah kota Bintuni. Persis setelah perempatan lampu merah. Bagi penduduk sekitar kota, lampu merah itu sangat lah spesial. Karena itu adalah ikon kota, satu-satunya lampu merah di Kabupaten Bintuni.

Sesampai di rumah Bupati, sekilas kami cukup takjub, karena rumah Bupati adalah rumah kayu. Dugaanku saat itu, mungkin ini wajar mengingat harga semen di Papua mencapai 1 juta per saknya.

Yang kubayangkan pertama kali sebelum masuk rumah itu adalah, mungkin Bupati nya warga lokal yang sederhana. Dia mungkin memilih rumah kayu, agar telihat sejajar dengan rakyat nya. Atau dia mungkin terpilih jadi Bupati karena merintis karir dari rakyat biasa, terus jadi kepala suku, bos kepala suku dan jadi Bupati.

Sayang sekali, tebakanku salah. Meskipun versi kayu, isi dalam rumah itu berlevelkan istana. Mungkin tidak sebagus rumah di iklan Podomoro Group, tapi bagiku tetap saja istimewa karena ada beberapa hiasan kas papua ditempel di dinding plus patung ornament yang tak murah harganya. Satu lagi prediksiku yang salah total adalah ternyata Bupatinya lulusan master studi pembagunan, salah satu universitas di Prancis. Prancis !! Prancis !!!

Entah kenapa saat tahu tentang Prancis itu jantung ini seakan lepas lagi dari rongganya. Kemaren, bertemu dengan kepala desa yang tidak sekolah, sekarang dihadapanku duduk Bupati Papua lulusan Prancis. Kosakata macam apa lagi yang harus kupakai.

Yang kuingat, saat itu beliau membuka pembicaraan dengan tenang sekali, runtut. dan 7 level diatas Jokowi. Tapi kawan, itu adalah diskusi paling mendebarkan yang pernah kuhadapi seumur hidup. Kadang tiba-tiba suaranya meninggi. 1 kalimat yang paling kuingat.

“Kalian jangan seperti orang Jakarta. Datang pagi pulang sore. Bagaimana mereka tau Papua. Bagaimana kita orang tidak minta merdeka !!”

Saat itu kami hanya diam. diam. .Hingga diskusi itu usai di tengah meja makan. .

Satu hal yang bisa kurasakan saat itu, adalah rasa lega yang mungkin dirasakan sang Bupati usai menceramahi kami 2 jam lamanya. Lega karena mungkin kekesalannya terhadap orang Jakarta sudah tumpah ruah di hadapan kami. Tapi tak masalah, kami juga bahagia, karena Bupati menjanjikan bahwa kami akan di support kendaraan dan makanan pokok selama tinggal dikampung Papua.

Pasca bertemu Bupati ku diminta menghubungi salah seorang pejabat Bintuni untuk urusan keuangan. Orangnya tinggi besar dan sangat ramah. Pikirku dalam hati, “Ah. .macam begini aman lah masalah dana. .”

Benar saja, pejabat itu bagaikan Doraemon, usai kuberikan rincian keuangan, 10 tumpukan uang keluar dari dalam tasnya. Oh tuhan. .bahagianyaa saat itu. Sejurus tangan ku dengan tangkas nya menandatangani kwitansi kosong itu.

Haha. Memang benar, memang benar. uang membutakan segalanya.

Jujur saja, Saat itu semua pelajaran waktu kuliah tata kelola pemerintahan lupa sama sekali. Ku tak ingat bahwa menandatangani kwitansi kosong menyalahi sistim administrasi pemerintahan. Untuk mengeluarkan dana harus melalui bendahara pemerintah, ada proses yang harus dilewati.

Apakah ku ikut terlibat korupsi? atau korban? atau saksi? Haha. Sudahlah. biarkan itu jadi pengalaman hidup. Mengetuk sadarku tentang begitu mudahnya terlibat dalam sengkarut korupsi negeri ini. .

Sore di hari itu. .sebelum kembali lagi ke kampung, kuhabiskan hari ku duduk di bandara kecil di ujung kota Bintuni. Bandara yang menjadi tempat lepas landas pejabat Jakarta yang berkunjung ke Bintuni. Beberapa kali tampak tukang ojek menghampiri pesawat perintis yang telah mendarat.

Ada juga beberapa orang yang sedang membongkar muatan BBM dan kardus-kardus yang ku tak tahu isinya apa.

Sekelompok anak-anak terlihat berlarian bermain bola di lintasan bandara. .

Ah. .indahnya negeri ini. .

Malam ini, di Manchester, kutulis tulisan ini dalam senyuman. Senyum bukan karena mengingat lagi masa-masa itu. Tapi setelah iseng ku buka google, ternyata sang Doraemon telah masuk penjara,

Karena korupsi. .

 

bersambung. .

bandara

 

Warning: Attempt to read property "comment_ID" on null in /customers/8/4/e/mediawahyudiaskar.com/httpd.www/wp-includes/comment-template.php on line 677 Warning: Attempt to read property "user_id" on null in /customers/8/4/e/mediawahyudiaskar.com/httpd.www/wp-includes/comment-template.php on line 28 Warning: Attempt to read property "comment_ID" on null in /customers/8/4/e/mediawahyudiaskar.com/httpd.www/wp-includes/comment-template.php on line 48 Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 16 − 6 =