Indonesia Dalam Pusaran Hutang

Apakah terdapat batas aman jumlah hutang yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Apakah benar rasio hutang dibawah 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) masih dikategorikan aman bagi perekonomian Indonesia?

Pertanyaan ini menjadi perdebatan publik akhir-akhir ini. Terlebih lagi setelah data menunjukkan bahwa hutang pemerintah Indonesia semenjak kepemimpinan Jokowi meningkat hingga 40 persen atau bertambah sekitar 1.062 triliun. Bersamaan dengan itu muncul meme-meme yang menyatakan pro maupun kontra dengan kebijakan hutang pemerintah Indonesia.

Jawabannya adalah tidak ada kesepakatan tentang batas aman terkait rasio hutang pemerintah terhadap PDB. Sangat sulit menentukan ambang batas minimum hutang suatu negara, karena semua bergantung pada siapa kreditur hutang tersebut dan untuk apa hutang itu digunakan.

Kita bisa ambil contoh Jepang. Rasio hutang Jepang saat ini bahkan mencapai 250 persen dari jumlah PDB dan jauh lebih tinggi dibandingkan Yunani yang berkisar 179 persen. Tetapi kedua negara tersebut memiliki kerentanan terhadap hutang yang berbeda. Jepang relatif bisa mengelola hutangnya dengan baik. Sebagian besar pemberi hutang Jepang adalah Bank Sentral Jepang serta masyarakat Jepang itu sendiri. Bank Sentral dan kreditur lokal tersebut memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas nasional, bahkan tidak hanya perekonomian tetapi juga dinamika perpolitikan di Jepang. Kondisi ini sangat berbeda dengan Yunani dimana sebagian besar pemberi hutang adalah bank asing. Sehingga ketika krisis terjadi, pemerintah tidak memiliki kuasa penuh untuk mengembalikan stabilitas ekonomi.

Membandingkan rasio hutang terhadap PDB antara Indonesia dengan negara lain juga tidak sesederhana yang dibayangkan. Kita bisa ambil contoh Malaysia yang memiliki rasio hutang terhadap GDP sebesar 52 persen. Angka ini terlihat sangat tinggi, tetapi perlu diketahui bahwa Malaysia adalah negara eksportir terbesar ke 20 di dunia dengan sektor industri yang sangat kompetitif atau peringkat 15 di dunia. Malaysia, dan begitu halnya dengan Jepang, serta Amerika Serikat yang memiliki ratio hutang terhadap PDB adalah negara industri dengan nilai ekspor yang sangat tinggi.

Bagaimana dengan konteks Indonesia? Pertama, tidak seperti Malaysia yang nilai ekspornya sudah didominasi oleh sektor industri dan manufaktur, komoditas ekspor Indonesia masih didominasi oleh sumber daya alam tak terbarukan. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena nilai ekspor minyak, batubara dan gas sangat rentan pada krisis keuangan global. Disamping itu, dengan minimnya eksplorasi cadangan gas dan mineral, maka nilai ekspor sumber daya alam Indonesia dipastikan akan terus menurun seiring berjalannya waktu dan akan berpengaruh langsung pada pendapatan negara. Data menunjukkan bahwa rasio hutang pemerintah terhadap penerimaan ekspor semakin meningkat. Dengan kata lain, tingkat kerentanan Indonesia terhadap hutang luar negeri terus mengalami peningkatan.

Poin krusial lainnya yang perlu ditanggapi serius oleh pemerintah dengan peningkatan jumlah hutang adalah semakin meningkatnya ketergantungan pemerintah pada sistem keuangan global. Kepemilikan asing dalam surat hutang negara terus meningkat dengan pertumbuhan hingga 14,78% secara year to date sejak 30 Desember 2016. Hal ini menyiratkan bahwa Indonesia juga semakin rentan terhadap krisis terutama terjadinya capital outflow atau kaburnya investor dari Indonesia. Pemerintah tidak boleh khilaf sedikitpun membaca keadaan. Yunani mengalami krisis setelah kegagalan pemerintah membayar hutang dan diikuti dengan kepanikan pelaku ekonomi di negara tersebut sehingga berujung pada kekacauan, peningkatan angka pengangguran dan instabilitas politik. Penting untuk dicatat, kekacauan itu terekskalasi dalam kurun waktu yang relatif singkat.

Kondisi ideal yang paling diharapkan untuk mengurangi beban hutang adalah adanya surplus fiskal. Namun demikian, ditengah lesunya ekonomi, terpukulnya sektor manufaktur dan turunnya daya beli masyarakat, mewujudkan surplus fiskal menjadi tantangan tersendiri. Indonesia juga tidak mungkin memotong anggaran jaminan sosial seperti BPJS, hingga dana conditional cash transfer. Pemotongan tersebut justru akan berdampak lebih parah pada instabilitas politik dan keamanan karena peningkatan kemiskinan yang berpotensi menambah gesekan antar buruh dan pemilik modal, masyarakat dan pemerintah.

Disisi lain, penggunaan dana hutang untuk pembangunan infrastruktur juga belum akan menghasilkan dampak langsung pada peningkatan pendapatan pemerintah. Faktanya, sebagian besar proyek yang didanai oleh hutang ditujukan untuk menggenjot investasi, dan sangat berorientasi pada pemilik modal. Sebut saja jalan tol Ruas Palembang- Tanjung Api-api sepanjang 75 kilometer ataupun proyek jalur kereta api di Kalimantan yang sebenarnya diperuntukkan untuk menghubungkan sumber-sumber batubara

Persoalannya adalah lonjakan investasi tidak serta merta memberikan proporsi keuntungan maksimum untuk pemerintah. Modernisasi perekonomian global memungkinkan pemilik modal untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya di negara berkembang dengan berbagai macam insentif dan tenaga kerja murah  dan kemudian melakukan upaya penghindaran pajak. Penghindaran pajak itu bahkan menyebabkan Indonesia kehilangan mencapai 240 triliun setiap tahunnya, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara ketujuh terbesar sebagai sumber dana illicit di seluruh dunia.

Oleh karena itu, untuk mendorong pendapatan, pemerintah harus betul-betul memikirkan langkah serius untuk mengatasi upaya penghindaran pajak. Pada saat bersamaan, pemerintah harus terus meningkatkan pajak orang-orang kaya di Indonesia secara bertahap. Pemerintah jangan lagi percaya pada teori lama bahwa peningkatan pajak pendapatan pada orang-orang kaya akan memukul perekonomian dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Beberapa dekade yang lalu para pengambil kebijakan masih percaya bahwa pajak progresif terhadap orang kaya akan membuat pemilik modal akan memindahkan assetnya ke negara lain dan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Beberapa negara juga memutuskan untuk menurunkan pajak terhadap orang kaya dengan alasan peningkatan investasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, penelitian terbaru justru menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara peningkatan pajak orang kaya dengan pertumbuhan ekonomi

Peningkatan hutang Indonesia menyisakan kekhawatiran yang luar biasa. Hutang hari ini adalah beban bagi generasi Indonesia masa depan. Saat ini Indonesia memang masih punya cadangan sumber daya alam yang melimpah untuk bisa membayar hutang negara. Tetapi ketika sumber daya alam itu habis, serta sektor industri yang belum berkembang dengan baik, maka generasi Indonesia masa depanlah yang akan menanggung beban hutang Indonesia hari ini.

Pembiayaan proyek-proyek yang tidak menguntungkan dan tidak berpengaruh langsung pada pertumbuhan ekonomi dan masyarakat kecil harus dievaluasi kembali. Peningkatan pajak pendapatan pada orang-orang kaya mutlak harus dilakukan. Pemilik modal adalah pihak yang paling diuntungkan dari berbagai insentif perdagangan global. Pada saat yang sama, mereka juga berkewajiban untuk memberikan proporsi pajak yang lebih besar sebagai ganti atas previledge yang telah mereka nikmati selama ini.

Media Wahyudi Askar

The University of Manchester

Referensi:

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/07/13/3-tahun-pemerintahan-jokowi-utang-negara-meningkat-rp-1000-triliun

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3529849/25-tahun-jokowi-utang-pemerintah-ri-tambah-rp-1062-t-kenapa

https://atlas.media.mit.edu/en/profile/country/mys/

http://investasi.kontan.co.id/news/kepemilikan-asing-di-sbn-meroket

http://www.berdikarionline.com/proyek-infrastruktur-sumsel-tidak-pro-rakyat/

http://finansial.bisnis.com/read/20151019/10/483505/aktivitas-ilegal-dan-penghindaran-pajak-indonesia-kehilangan-us66-triliun

http://www.independent.co.uk/news/world/politics/inequality-imf-international-monetary-fund-high-tax-rich-jeremy-corbyn-a7995826.html