Aku-Papua (Chapter 2 – Tanah Harapan)

Sorong

Sambungan Aku-Papua (Chapter 1)

. . .tidur berdesakan di dek kapal ukuran 2×6 meter, 6 hari 6 malam sungguh jadi pengalaman tak terlupakan. Saat jam makan tiba, kami berantrian menunggu jatah nasi yang dibagikan petugas kapal. Hampir tiap hari kami makan dengan porsi dan jenis lauk yang sama. Setengah piring nasi dan seperempat telor dadar normal. Saya menyebutnya telor dadar spesial, karena rasa tepung aci jauh lebih terasa dibandingkan rasa telor itu sendiri.

Berulang kali, saya yakinkan hati dan pikiran, jangan berpikir untuk protes. Wajar-wajar-wajar !!!, karena penumpang kelas ekonomi seperti kami cuma bayar ongkos 550 ribu rupiah lengkap dengan makan tiga kali sehari selama 6 hari.

Yang saya ingat, kapal mulai berayun tak beraturan ketika memasuki laut Banda. Perlahan perut mulai kembung, darah seperti menyesak kepala tak beraturan. Saat itu. .teringat jelas soal olimpiade IPS yang ku ikuti dulu, bahwa ternyata benar, Laut Banda adalah laut terdalam di Indonesia.

Kata orang tua-tua dulu, kalo perut kembung sering-seringlah menguap. Alhamdulillah, trik itu sungguh tidak efektif !! Menguap berulang ulang, makin lama makin kembung !!

Tak ingin perut ini pecah berantakan, kupaksakan badan berjalan mengitari kapal. .

Kawan. . pemandangan di sekeliling kapal sungguh bikin geleng-geleng kepala. Kapal itu adalah miniatur Indonesia. Beberapa penumpang menjajakan batu akik. Selebihnya membuka lapak berjualan obat, dan minyak urut tradisional. Jika mentok di sudut kapal, pasti ketemu lelaki tambun dengan kotak tripleks, duduk di depan toilet. .

Suara didek kapal sangat sangat riuh. Di tengah kapal yang berayun2, masih terdengar suara anak kecil berlarian, sesekali terdengar ocehan salah satu suku pedagang asal sumatera berjualan kain macam di Tanah Abang. Hebat, ini di tengah kapal dan di tengah laut !! Varokah !!

Salah satu spot yang paling menarik adalah dek paling atas. Tidaklah luas, mungkin hanya terdiri dari 10 kamar. Tapi, suasananya sungguh bertolak belakang. Tak ada keriuhan jajanan makanan di dek ini. Di dinding dek terpampang lukisan abstrak yang hanya dimengerti oleh orang kaya. Sesekali petugas catering terlihat lalu lalang. Di salah satu sudut, terlihat ruangan lengkap dengan mic dan sound system, bisa ditebak, itu adalah ruangan karaoke.

Dek paling atas adalah dek VIP. Dek khusus untuk orang orang berduit. Sekaligus pemisah antara kaum proletar dan bangsawan, Brahmana dan sudra. Entahlah, mungkin ini kodrat, bahwa kantong lah penentu kenyamanan. Boleh setuju atau tidak, Silogismeku saat itu, orang kaya identik dengan restoran dan karaoke. Orang miskin identik dengan batu akik dan kain tanah abang. Anda bisa tanyakan diri anda, dimanakah anda berada. .

6 hari 6 malam. Akhirnya perjalanan itu berakhir. Menjelang sore, kapal berlabuh di tanah Sorong. Papua. .

Syukur bercampur haru. Bersyukur karena perjalanan panjang itu telah usai. Haru, karena teringat omelan salah satu pegawai kampus beberapa minggu sebelumnya, bahwa kami tidak akan pernah diijinkan bisa sampai ke Papua. Sambil tersenyum, kuinjakkan kaki di Papua, dan berujar dalam hati, “tidak pernah ada yang bisa mengalahkan keyakinan dan izin tuhan”

Hari ketujuh. . kami memulai petualangan di Papua. Tanah harapan. .

 

bersambung. .

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha + 10 = 18