Aku Papua (Chapter 5 – Jagoan Intelektual Kosong Pengalaman)

. .hari-hari di tanah Papua mulai terasa jenuh dan membosankan. Beberapa diantara kami juga sudah mulai pasrah. Apa yang bisa kita lakukan disini? apa yang bisa kita rubah? Mereka diajak ngobrol saja susah? Rasa optimis yang katanya ingin merubah Papua seperti yang kami gaung-gaung kan dulu seperti nya takkan pernah terwujud.

Masalahnya juga tidak cuma sampai disitu, beberapa program yang akan kami jalankan menemui banyak sekali masalah. Salah satu program yang kami banggakan akan menerangi Papua yaitu program sepeda listrik, gagal total. Mesin sepeda listrik yang kami bawa jauh-jauh dari Jawa ketumpahan oli dan sama sekali tidak bisa dipakai. Kekecewaan pun menjadi-jadi karena sang perakit sepeda listrik itu tidak bisa dihubungi. Rempongnya lagi, tak ada satupun diantara kami yang paham alat elektronik.

Satu lagi yang kuingat, sebelum datang jauh-jauh ke Papua kami pernah berencana membuat program pegembangan hutan mangrove disana. Idenya, masyarakat nanti bisa memanfaatkan pohon mangrove, termasuk buahnya yang bisa dibuat keripik mangrove. Temanku sampe mengikuti pelatihan khusus dari pakar mangrove. Taukah apa yang terjadi. Pertama, ternyata hutan mangrovenya jauh dari desa. Kedua, pada saat ditanya, Apakah mereka pernah kepikiran untuk menjadikan buah mangrove sebagai bahan makanan? Ku masih ingat ekspresi jawaban mereka “Bapak, itu pahit, buah mangrove itu untuk makanan ternak !!”

Haha. yang kuingat, kami hanya tertawa mendengar jawaban dari warga.  Buah itu ternyata memang pahit nauzubilah. Mereka tidak salah, kami yang sebenarnya bloon, merancang program tanpa tahu kondisi sebenarnya dan berlagak seperti jagoan intelektual tapi kosong pengalaman.

Hingga kemudian, di tengah pasrah dengan keadaan, malam itu salah seorang sahabat mengajukan ide yang cukup masuk akal. “sudahlah kawan, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan, sekarang cukup hidup bersama warga, ikut masak dengan mereka, berburu, tinggal bersama mereka, bahkan kalo perlu mabuk bersama mereka”

Karena tidak ada opsi lain, kami sepakat. Temanku yang katolik ikut beribadat bersama warga di gereja. Beberapa diantara kami akhirnya malah keasyikan berburu tikus tanah di malam hari bersama warga. Satu orang yang kami utus untuk mabuk bersama warga, juga sangat menikmati tugas nya dengan sangat baik.

Dan ternyata strategi ini sangat sangat efektif !!. Setelah hampir sebulan berkeliaran tak tentu arah di kampung itu, kami mulai mendapatkan kepercayaan masyarakat. Pelan tapi pasti, kami mulai menemukan hal-hal sederhana yang bermanfaat untuk warga. Ternyata yang dibutuhkan mereka jauh lebih sederhana dari yang kami bayangkan. Bukan listrik, bukan mangrove, bukan pula uang, melainkan pendampingan serta sentuhan dari hati ke hati.

Akhirnya, program yang kami inisiasi mulai menampakkan hasil. Acara layar tancap yang kami adakan setiap malam minggu mulai mendapatkan antusiasme dari warga. Kegiatan yang awalnya diperuntukkan untuk anak-anak, sekarang didatangi oleh seluruh penduduk satu kampung. Pun begitu dengan program air bersih. Hampir semua rumah meminta kami membuat dibuatkan instalasi air bersih karena mereka takjub setelah melihat air sumur yang awalnya coklat disulap menjadi air jernih oleh temanku yang lulusan politik. Hampir semua kegiatan penyuluhan kesehatan dan pelatihan ekonomi yang kami lakukan berjalan dengan baik.

Keberhasilannya memang sangat normatif. Kami tidak bisa menjamin semuanya paham dengan apa yang kami sampaikan. Tapi satu hal keberhasilan paling pokok adalah, warga akhirnya PERCAYA dengan apa yang kami sampaikan. Keberhasilan yang tidak bisa diukur dengan angka dan tidak bisa dimasukkan ke dalam laporan, tapi hanya bisa dirasakan oleh hati.

Hikmahnya sangat sederhana. Kesombongan akan ilmu tak ada gunanya. Masyarakat tidak butuh ilmu mewah dan bombastis. Yang mereka butuhkan adalah kebersamaan dalam mencari jalan keluar dari masalah-masalah sederhana dalam hidup mereka. Bukan teori tapi aplikasi. Bukan pula pengajaran melainkan pendampingan.

Hubungan antara masyarakat dan ilmuwan bukanlah seperti hubungan antara  siswa sekolah dasar dan guru proletar. Melainkan seperti sebuah rautan dan pensil, saling membutuhkan antara satu dengan yang lain.

 bersambung. .

Papua

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 28 − = 20