Aku Papua (Chapter 7 – Bawa Anak Ke Sekolah, Itu Sudah)

 . .setelah sekian lama tinggal di Papua, lama kelamaan rasa kesal terhadap ketidakadilansemakin menyeruak didalam hati. Bagaimana mungkin, disaat peradaban di pulau Jawa sudah memasuki era digital dan millennium tapi kehidupan disini masih jauh dari jangkauan listrik dan teknologi moderen. Jangankan gadget canggih, untuk menghidupkan listrik 6 jam saja butuh mesin genset dan 6 liter solar dengan biaya 120 ribu sehari. Sama dengan biaya listrik rumah petak 1 BULAN di Jakarta yang sudah lengkap dengan TV,   komputer, game player, magic com, lampu dan kipas angin.

Beberapa kali memang sempat kulihat anak cabe-cabean Papua yang punya hape dan selalu pake headset kemana mana. Ku sempat bingung, bocah ini dapat sinyal hape darimana. Setelah kutanya ternyata hape itu ternyata cuma buat dengerin musik. Artinya, kalo hapenya android, cuma program music player yang dipakai. Whatsapp, line, messenger dan aplikasi lainnya mati suri. Ada tapi tak bermakna. Kawan, mungkin sebagian dari kita takkan bisa hidup tanpa jejeran aplikasi-aplikasi itu. Termasuk saya, haha

Satu-satunya akses internet adalah dengan pergi ke kota atau nongkrong di warnet di kota. Hmm, jangan bayangkan fasilitasnya sama seperti warnet anak gaolnya Jakarta yang lengkap dengan headset dan game dota. Warnetnya sederhana saja, dengan fasilitas kursi mantenan yang warna merah itu serta dibatasi bilik triplek. Lumayan, meski butuh sedikit kesabaran hingga tulisan Google nya muncul dengan sempurna.

Entah mengapa, saat itu ku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi di negeri ini. 70 tahun sudah Indonesia merdeka, ketimpangan ekonomi dan infrastruktur yang terjadi begitu dalam. Boro-boro meningkatkan pelayanan publik dan efisiensi birokrasi berdasarkan sistem online, untuk melakukan administrasi pemerintahan saja, pemerintah daerah harus keluar uang ratusan juta untuk biaya solar genset setiap bulannya.

Oya ku ingat dulu, sebelum ke Papua pernah menjadi asisten dosen mata kuliah E-Government. Saat itu dengan pedenya didepan kelas menyampaikan bahwa UU nomor 23 tahun 2006 yang digagas pemerintah tentang sistem online dalam pencatatan administrasi kependudukan adalah solusi terhadap reformasi birokrasi. Saat itu mahasiswanya cuma melongo dan pasti setuju. Tapi, Ah kutu kupret, gimana mau online, listrik dan fasilitas internetnya terbatas. Saranku buat mahasiswa yang lagi kuliah, jangan terlalu percaya omongan dosen. Apalagi yang baru jadi asisten dosen. haha  

Kawan, keterbatasan infrastruktur di Papua dampaknya sangat luar biasa. Akhirnya yang terjadi, data administrasi kependudukan berantakan, sehingga dana otonomi khusus tidak jelas pembagiannya. Bayangkan uang triliunan rupiah akhirnya harus terbuang percuma karena data kependudukan yang tidak akurat. Satu kampung yang hanya berjumlah 20 jiwa bisa mendapatkan dana otsus seratusan juta pertahun, jumlah yang sama dengan kampong lainnya, meski berpenduduk jauh lebih banyak.

Kepala desa setempat juga menjelaskan, ketidakjelasan data ini juga dipermainkan oleh oknum pemerintah dengan membuat desa-desa fiktif. Uang triliunan akhirnya raib dimakan makan para badut.

Ah sudahlah, saat itu kuhanya bisa merefleksi diriku sendiri. Ku tak punya kuasa apa-apa merubah semua itu. Jangankan merubah, ilmu saja belum cukup untuk merangkai masalah itu menjadi solusi.

Menjelang malam, kuhabiskan waktu duduk minum kopi dengan salah satu pentolan pejabat kabupaten. Gaya pongah sekilas terlihat dari tutur katanya. Bersamaan dengan hembusan Marlboro, sesekali kata-kata kotor keluar dari mulutnya. Wajar, karena dia pejabat dan pejabat pemerintahan disana laksana raja dengan uang berlimpah. Dari semua omong kosong obrolan malam itu, hanya satu kalimat yang kuendapkan dalam sanubari. Sambil menepuk pundakku, beliau berujar:

“sudahlah kau orang tidak usah terlalu banyak berharap. Papua itu generasi hilang sudah. Cukup satu saja, buat orang tua bangga dengan mereka punya anak. Agar mereka tidak lagi bawa anak mereka ke ladang tapi suruh anak mereka ke sekolah”

bersambung. .

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 77 − = 75