Aku Papua (Chapter 8 – Hari terakhir)

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Obrolan dengan pejabat di malam itu sepertinya memang benar adanya. Hampir mustahil untuk merubah pola pikir masyarakat yang sudah lama terjebak dalam gelap keterbatasan. Jika boleh menghukum takdir, mereka tidak salah, satu-satunya kesialan mereka adalah karena diberikan harta sumber daya alam yang melimpah oleh Tuhan, tapi dirampas oleh antek-antek kapitalis Soeharto dan dedengkotnya Freeport.

Apa yang terjadi di Papua, logikanya persis seperti hubungan antara pembegal dan korbannya. Si pembegal merampas motor korbannya, tapi tidak memberikan kompensasi, kabur begitu saja dan meninggalkan korbannya yang luka-luka disabet clurit. Begitulah yang terjadi di Papua saat zaman Soeharto. Emas Papua di rampas, Freeport serta kroni-kroni pemerintah kabur begitu saja meninggalkan Papua dengan darah konflik dan perang saudara.

Bagaimana dengan Papua hari ini? Sayangnya tidak lebih baik, tapi analoginya sedikit berbeda, yaitu seperti nasib penumpang Lion air yang mengalami keterlambatan Pesawat. Lion air tetap mengambil keuntungan bisnis dengan mengorbankan kepentingan penumpang, tetapi memberikan kompensasi 300 ribu agar penumpangnya tidak banyak protes. Hari ini kawan-kawan, rakyat Papua disumpal dengan uang agar diam, tapi kepentingan bisnis tetap berjalan. Sekali lagi, bisnis.

Tapi benarkah tidak ada lagi harapan? Di tengah segala keputusasaan, sebenarnya masih terbersit harapan untuk anak-anak Papua masa depan. Ku bisa melihat harapan itu dari bening mata polos mereka. Pancaran mata yang sangat ikhlas dan penuh kejujuran. Seakan menyiratkan, “kami ingin sukses, kami ingin berubah”

Keyakinan itu kami rasakan semakin kuat dari hari ke hari. Terlebih lagi, setelah beberapa bulan mengajar di kelas, usaha kami tampaknya mulai membuahkan hasil. Hasilnya bukanlah meningkatnya nilai pelajaran, bukan pula peningkatan fasilitas pendidikan. Tetapi seperti yang disampaikan sesepuh kota waktu itu, buat orang tua bangga dengan anak-anaknya.

Beberapa orang tua akhirnya sadar bahwa anak mereka harus sekolah untuk meraih masa depan. Sekelompok warga juga sudah mulai tergerak untuk memikirkan solusi infrastruktur desa tanpa harus mengharapkan ide dan bantuan dari kami. Meski tidak sempurna, tapi ternyata itulah makna berdaya yang sesungguhnya, disaat masyarakat mampu memikirkan solusi atas masalah yang terjadi di lingkungannya.

Hari itu, akhirnya menjadi hari terakhir kami berada di kampung. Dengan segala cerita, kami harus pergi dan kembali ke realitas takdir bahwa kami datang kesana bukanlah untuk selamanya. Pengabdian itu harus diakhiri. Kebersamaan itu harus diputus, sebagai sebuah takdir perjalanan.

Malam itu, 22 Agustus 2011, sebuah acara perpisahan sederhana kami gelar bersama warga. Malam itu juga, tak ada seorangpun warga kampung yang ada dirumah. Semua orang kampung berkumpul di pendopo desa dan tertawa bersama. Kuingat, kami membagikan hadiah untuk anak-anak Papua. Beberapa orang tua maju dan mencium serta merangkul erat anaknya. Saya ingat satu diantara mereka berujar, anaknya harus jadi seperti kami, sekolah di kampus ternama di Pulau Jawa.

Kawan, perpisahan itu menjadi salah satu hari paling emosional yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Segera setelah kami menyelesaikan acara, semua anak-anak menangis. Pun dengan orang tuanya, semuanya menangis, memeluk kami erat. Erat sekali.

Kepala suku yang dulu pernah membuat jantungku copot saat hari kedatangan, berjalan menghampiriku. Kuyakin dia ingin berkata sesuatu tapi mungkin karena tidak mampu lagi membendung sedih dan kosakata bahasa Indonesia terbatas, dia hanya diam seraya menatapku dalam dan memelukku erat. Mungkin itulah saat pertama kali mereka merasakan, ada orang “pintar” yang rela susah-susah dengan mereka, ikut mabuk, ikut berburu dan masak bersama mereka, dan yang lebih penting lagi ikut merasakan dan menyelesaikan masalah sosial ekonomi yang mereka hadapi.

Yang kuingat, saat itu cahaya bulan terang sekali, memayungi kesedihan kami dan meluluhkan alam sadar kami atas segala tingkah laku dan kesalahan kami yang sering berlagak pintar dihadapan orang kampung. Malam itu juga sekaligus menjadi saksi kebahagiaan kami dicintai oleh orang-orang yang selama ini dianggap terbelakang oleh pemerintah. Ternyata, dicintai oleh orang yang berpendapatan dibawah 20 ribu, lebih membahagiakan daripada dicintai oleh sekelompok konglomerat berpenghasilan 20 juta perbulan

Menjelang tengah malam kami pulang, seluruh warga masih berkumpul di pendopo. Mereka bingung, pun begitu juga dengan jangkrik dikampung itu, karena pertama kali seumur hidupnya melihat kepala kampung yang beringas, menangis terisak-isak.      

bersambung. .

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 59 − 55 =