Ironi Beras Impor

Salah satu langkah efektif untuk meningkatkan produksi beras adalah dengan menerapkan sistem upah antara pemilik modal dengan para petani (fixed rent). Dengan sistem ini pemilik modal bisa menguasai lahan sesuai dengan mekanisme pasar, mempekerjakan buruh, melakukan diversifikasi pangan, dan menerapkan sistem teknologi pangan.

Metode ini sukses diadopsi di berbagai negara maju, baik di Amerika, Brazil, Eropa, bahkan India. Jika berkesempatan berkunjung ke negara maju, kita akan melihat hamparan lahan pertanian yang sepi, dengan buruh tak sampai 5 orang, tapi mereka ditemani traktor canggih. Dengan sistem ini, produksi pertanian mereka berkembang signifikan.

Namun demikian, mekanisme ini tidak bisa dengan mudah diterapkan di Indonesia. Petani percaya bahwa sistem ini menjurus pada eksploitasi. Ratusan tahun petani Indonesia ditipu Belanda. Pemilik lahan (pemerintah kolonial) mempekerjakan petani sebagai buruh paksa dan menerapkan pajak penggunaan lahan yang tidak adil.

Akibatnya, sistem sharecropping dianggap lebih baik, dimana sewa lahan atau biaya pemakaian lahan diwujudkan dalam persentase output fisik total yang diperoleh selama musim tanam tertentu. Sederhananya, “saya sewa lahan kamu, nanti saya bagi hasilnya”.

Secara teori, mekanisme ini memang tidak sebaik metode sistem upah. Produktifitas pangan sulit untuk ditingkatkan, karena sistem sharecropping biasanya hanya bisa dilakukan pada lahan terbatas dengan metode perjanjian informal.

Tetapi, sistem ini tidak selalu buruk. Sharecropping bisa menjamin alokasi sumber daya yang lebih baik. Itulah sebabnya, angka kelaparan di Indonesia tergolong rendah. Sesulit apapun hidup masyarakat, terutama di kampung-kampung, mereka tetap bisa makan dan mengandalkan hasil pangan dan sawah mereka atau bekerja untuk sawah orang lain.

Sebaliknya, fixed rent yang banyak diterapkan di negara maju, justru mendorong meningkatnya ketimpangan ekonomi antara pemilik modal dengan buruh. Itulah yang terjadi hari ini di berbagai negara eropa, dan Amerika.

Dengan kondisi seperti ini, puluhan tahun lalu, founding father kita sebetulnya sudah berpikir dengan cara modern. Itulah sebabnya Muhammad Hatta percaya bahwa prinsip koperasi bisa menjadi jawaban dari kompleksitas pertanian di Indonesia. Pemilik lahan dan petani berkumpul bersama membentuk koperasi, menerapkan mekanisme simpan pinjam, punya gudang beras, membagi keuntungan untuk sesama anggota, dan makan kenyang bersama-sama. Begitulah idenya. Tak ada eksploitasi. Semua bahagia dan sejahtera.

Hanya saja, cita-cita itu dirusak oleh politisi “bangsat” dan sekelompok manusia rakus yang memegang pemerintahan. Koperasi rakyat dikerdilkan, swasta mengambil alih distribusi dan gudang beras. Tengkulak berdasi tumbuh tak terkendali. Harga beras naik, masyarakat tersika, dan akhirnya IMPOR.

Apa yang terjadi setelah impor?, harga beras jatuh, petani kecil menjadi pihak yang paling dirugikan.

Ditengah kondisi ini saya hanya berharap agar semua pihak yang berkepentingan dibukakan hatinya untuk berbuat yang terbaik demi rakyat.

Jika impor memang dilakukan pemerintah semata karena tidak ada jalan lain untuk mengendalikan harga yang sudah tak terkendali. Maka saya angkat topi seraya berharap evaluasi segera dilakukan agar kelak impor tidak terjadi lagi.

Tetapi jika pemerintah, dalam hal ini presiden dan menteri-menteri tahu bahwa impor dilakukan hanya untuk kepentingan partai, mendulang rupiah demi kampanye 2019, tetapi memilih untuk diam, maka itu sama saja memakan darah dan bangkai rakyat nya sendiri.

Gusti mboten sare. Tuhan tidak tidur.