Belajar Adalah Kebahagiaan

Menjelang tidur malam ini, detak jarum jam entah kenapa terdengar lebih kencang dari biasanya. Pikiran tiba-tiba galau mendadak setelah saya hitung 26 tahun sudah saya lahir ke dunia dan masih berstatus sebagai pelajar. Itu artinya, diumur 26 tahun saya masih punya aktifitas yang sama dengan siswa kelas 1 SD yang setiap malam harus membaca buku dan pagi harinya harus berangkat ke sekolah.

Saya mencoba mengingat kembali, apa yang sebenarnya saya pelajari puluhan tahun ini. Saya baru sadar ternyata hampir semua bidang ilmu, sudah pernah singgah didalam otak ini. Sewaktu SD saya pernah belajar Baca Tulis Arab Melayu, Muatan Lokal dan juga bidang ilmu lainnya seperti Sejarah, Ekonomi, Geografi, Matematika, , Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Pendidikan Agama maupun kelas keterampilan. Saat SMP dan SMA bobotnya makin berat lagi, dilengkapi dengan Fisika, Kimia, Biologi, Akuntansi, , Bahasa Inggris, Bahasa Arab dan soal matematika tingkat dewa.

Pada saat saya kuliah sarjana dan master, mata pelajarannya makin gak karu-karuan, mulai dari teori politik, ekonomi, statistik, bahkan econometrics yang bikin dahi mengkerut 50 lapis.

Tapi kawan, tidak ada manusia yang sempurna. Jujur, saya sudah tidak ingat lagi sebagian besar materi pelajaran yang dulu saya pelajari, terutama pada saat SD, SMP dan SMA

Meski dulu pernah mencatatkan rekor sebagai juara kelas, saya sudah lupa, apa saja lapisan udara pelindung bumi dan apa fungsinya, bahkan yang lebih parah lagi, saya tidak ingat lagi rumus-rumus kimia, fisika dan matematika yang dulu saya pelajari bertahun-tahun.

Terus pertanyaannya apa gunanya belajar? Haha.

Berulang kali saya bertanya pada diri sendiri, bagaimana sebenarnya sistem kerja otak ini? Akhirnya, setelah melamun panjang, saya temukan jawabannya. Ternyata pelajaran yang saya tidak ingat sama sekali adalah pelajaran yang tidak saya suka. Saya tidak suka kimia, fisika dan matematika, tetapi karena tuntutan harus masuk IPA karena gengsi, saya terpaksa harus mempelajari ketiga mata pelajaran itu. Akibatnya, tidak satupun rumus-rumus Aljabar, Archimedes, dan Isaac Newton yang hinggap dipikiran saya.

Contoh lain, saya tidak suka Bahasa Arab, bukan karena pelajarannya, tapi karena saya benci sekali dengan gurunya yang pernah menyumpahi kami masuk neraka apabila nyontek saat ujian. Alhasil, saya hanya ingat 2 kata dalam bahasa arab, Naam yang artinya Iya dan Bahlul yang artinya bodoh.

Oya, ada satu lagi, saya tidak ingat lagi pasal-pasal dan Undang-undang Negara kecuali pasal 29 ayat 1. Tahu kenapa? Karena saya kesal sekali, saat itu, sehari sebelum ujian, saya harus menghapal hingga larut malam setiap kata-kata dalam undang-undang itu untuk mendapatkan nilai maksimal.

Tapi sebaliknya, saya ingat persis setiap materi pelajaran yang saya suka. Hingga detik ini saya masih ingat bu Rahmi menjelaskan di papan tulis kapur bahwa “Semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin sedikit jumlah permintaan”. Saya bahkan masih ingat persis isi perjanjian Renville yang saya pelajari saat SD kelas 4, cuma karena saya suka sekali dengan pelajaran sejarah.

Ternyata hikmahnya adalah kita hanya akan mengingat materi pelajaran yang membuat kita bahagia. Tidak peduli kita belajar berpuluh tahun lamanya, selama kita tidak pernah bahagia dengan pelajaran itu, maka yakinlah tidak akan ada satupun yang akan singgah di kepala.

Begitulah Allah mendesain otak ini bekerja. Memori kebahagiaan akan membekas puluhan tahun lamanya. Momen yang tidak kita sukai, membosankan dan menjenuhkan akan hilang begitu saja meski hanya dalam hitungan bulan.

Hari ini, saya menjadi calon doktor di bidang sosial ekonomi. Bidang atau mata pelajaran yang dari kecil membuat saya merasa begitu bahagia. Jadi buat adek-adek saya yang hari ini masih SD, SMP dan SMA dan merasa terpaksa belajar fisika, kimia, dan matematika hanya karena gengsi dan tuntutan nilai, Percayalah, 10 tahun kemudian materi itu akan lenyap tak berbekas, bahkan tidak ada gunanya. Sebaliknya, mata pelajaran yang kalian sukai akan terekam dengan jelas di kepala dan besar kemungkinan masa depan kalian tidak akan jauh dari bidang ilmu tersebut.

Belajar adalah kebahagiaan. Tidak bisa dihapalkan, apalagi dipaksakan. Pada akhirnya nanti semua yang kita ingat hanyalah momen-momen kebahagiaan. Sama halnya ketika kita mengingat momen bahagia saat bermain kelereng bersama teman sejawat, atau momen saat diberikan hadiah ulang tahun ke 5 oleh orang tua atau mungkin momen disaat kita tertawa bahagia ketika berhasil memanjat pagar sekolah dan cabut, karena mata pelajaran yang membosankan dan bikin sakit hati.

Ternyata itulah yang membuat saya mampu bertahan menjadi seorang pelajar hingga detik ini. Satu hal, karena saya bahagia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha + 83 = 86