Menggugat Orang Kaya Indonesia

ketimpangan

Jika mendengar kata-kata “orang kaya”, maka ungkapan yang seringkali muncul dipikiran kita adalah sekelompok orang yang memiliki pekerjaan yang layak, liburan ke luar negeri dan menikmati hari tua di rumah mewah. Sebaliknya, sebutan “orang miskin” identik dengan kehidupan yang pas-pasan, terjebak hutang, dan rumah kontrakan berukuran 5×7 meter. Idiom itu sebenarnya adalah refleksi paling jujur atas kondisi sosial yang terjadi di Indonesia saat ini, di mana jurang ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin semakin hari semakin memprihatinkan. 

Hari ini, laju ketimpangan ekonomi Indonesia adalah salah satu yang tercepat di dunia bahkan melebihi laju ketimpangan ekonomi Amerika Serikat. Tahun lalu, ketimpangan ekonomi di Indonesia mencapai angka 0,42 yang merupakan level tertinggi Indonesia sejak tahun 1966. 

Ketimpangan ekonomi yang terjadi saat ini dapat terlihat dengan kasat mata. Sangat mudah mendapati pemukiman penduduk miskin yang berjejer berdampingan dengan rumah atau apartemen mewah. Kita juga bisa menyoroti kondisi di mana para bos-bos perusahaan hidup dengan fasilitas mewah tetapi karyawannya harus bekerja lebih dari 10 jam per hari meski hanya dibayar dengan gaji setara Upah Minimum Regional (UMR).

Banyak alasan yang membuat orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin sulit lepas dari jerat kemiskinan. Di antaranya adalah karena kedua kelompok masyarakat itu memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda dan juga kesempatan yang berbeda.

Orang kaya mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk hidup sukses. Mereka justru dicari oleh perusahaan-perusahaan elite. Hal yang wajar, karena sebagian besar di antara mereka memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, kemampuan linguistik yang baik maupun level kecerdasan yang lebih baik. Ditambah lagi dengan jaringan yang dimiliki oleh keluarganya, mereka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Dengan modal yang mereka miliki, akan sangat mudah bagi mereka untuk melakukan investasi yang menguntungkan serta menyewa konsultan keuangan untuk melipatgandakan hartanya di pasar saham. Pada akhirnya generasi ini akan memiliki memiliki rumah pribadi, tabungan, dan menghabiskan masa tuanya dengan uang pensiun yang lebih dari cukup. 

Sementara itu, bagi mereka yang terlahir dari keluarga yang kurang beruntung, harus menempuh perjuangan yang begitu berat. Satu-satunya harapan untuk sukses adalah dengan memanfaatkan fasilitas pendidikan gratis yang disediakan pemerintah. Hampir mustahil bagi mereka untuk mengikuti kursus-kursus tambahan berbiaya mahal seperti yang didapatkan oleh anak-anak dari keluarga kaya. Sehingga dengan modal ekonomi pas-pasan dan skill yang terbatas, butuh waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan pekerjaan. Bahkan, ketika sudah mendapatkan pekerjaan sekalipun, yang hanya dibayar sebesar gaji UMR, mereka sudah merasa beruntung karena meyakini bahwa mereka berasal dari orang yang tidak berpunya dan tidak memiliki koneksi untuk mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi. 

Hari ini, generasi ini memiliki beban ekonomi yang sangat berat. Banyak di antara mereka yang harus berhutang untuk melanjutkan roda ekonomi keluarganya. Mereka tidak lagi memikirkan pekerjaan apa yang sesuai dengan passion mereka, tetapi mencari pekerjaan apapun yang bisa membayar utang-utang mereka. Sehingga membeli rumah pribadi adalah kerja keras yang harus mereka cicil hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Dengan kondisi seperti ini, tidak aneh apabila mereka bersikap acuh terhadap kehidupan hari tuanya dan cenderung abai terhadap masa depan anak-anak mereka. 

Realitas dan tantangan yang berbeda antara si Kaya dan si Miskin jelas tidak mungkin untuk dibahas dalam uraian seribu kata. Saya juga tidak mengatakan si Kaya pasti sukses dan si Miskin pasti gagal. Banyak juga cerita indah di mana orang yang lahir dari keluarga yang kurang beruntung, tapi dengan kerja kerasnya menjadi miliuner kaya raya. 

Tapi, kita harus jujur mengatakan bahwa kisah-kisah heroik itu hanyalah anomali yang tidak menggambarkan kondisi umum yang terjadi hari ini. Pada kenyataannya, sangat berat bagi masyarakat menengah ke bawah yang untuk keluar dari garis kemiskinan apabila tidak ada keberpihakan dari pemerintah.

Bagi saya, pemerintah tidak seharusnya menelan mentah-mentah sistem kapitalis global yang berkiblat pada peran pasar sebagai faktor fundamental perekonomian negara. Prinsip “everything is up for sale” memang merangsang pertumbuhan ekonomi. Tapi sayang, aktor utama dari pertumbuhan ekonomi itu hanyalah para pemilik modal yang pada kenyataannya hanya memberikan porsi pendapatan yang sangat kecil bagi orang miskin. 

Pemerintah kita seharusnya belajar dari Brasil yang terbukti sukses menurunkan ketimpangan ekonomi dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir. Di antara upaya yang dilakukan oleh pemerintah Brasil adalah dengan meningkatkan upah minimum para buruh serta memberikan program jaminan hari tua bagi masyarakat miskin yang memenuhi kriteria. Langkah ini terbukti efektif menggeser pondasi ekonomi Brasil yang mulai digerakkan oleh masyarakat kelas ekonomi menegah ke bawah. 

Pada saat bersamaan, pemerintah Indonesia harus melakukan upaya aktif untuk memaksa orang kaya di Indonesia untuk membayar pajak. Dari 50 juta orang kaya Indonesia hanya 23-24 juta orang kaya yang membayar pajak. Artinya, Indonesia kehilangan uang triliunan rupiah yang harusnya disetorkan kepada negara. 

Namun demikian, langkah-langkah itu dipastikan tidak akan mudah. Lingkaran kekuasaan yang dekat dengan pemilik modal akan menjadi hambatan bagi kenaikan UMR di Indonesia. Kenaikan UMR akan menjadi batu sandungan bagi para miliuner untuk melipatgandakan kekayaannya. Dengan cara apapun mereka pasti akan menyelinap dalam eksekutif dan legislatif serta mencari alasan-alasan ekonomi untuk menolak kenaikan UMR. 

Dalam hal peningkatan penerimaan pajak dari orang-orang kaya, Pemerintah Indonesia juga dipastikan menghadapi tantangan yang sangat sulit. Miliarder-miliarder tersebut jelas masih sanggup membayar penasehat hukum dan keuangan untuk mengakali sistem perpajakan di Indonesia. Milarder itu juga banyak yang memilih menaruh uangnya di luar negeri sehingga semakin sulit dilacak oleh otoritas perpajakan. 

Selain peningkatan UMR dan pengawasan perpajakan, banyak hal lainnya yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk menghambat laju ketimpangan ekonomi. Tapi yang paling penting untuk dipahami, membiarkan orang kaya dan orang miskin bertarung bersama dalam sistem ekonomi adalah logika yang tidak masuk akal. Orang miskin pasti akan semakin rentan apabila tidak diberikan ruang khusus oleh pemerintah. 

Orang yang tidak berpunya tidak akan mungkin mengambil harta orang-orang kaya di Indonesia yang selama ini melanggar hukum. Tapi pemerintah bisa melakukannya. Apabila pemerintah tidak melakukan itu, mereka yang terpinggirkan dari sistem ekonomi saat ini, berhak untuk marah. Karena pajak itu adalah hak mereka. 

Dipublish di Detik.com, Senin 28 Maret 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha + 86 = 87