Catatan Perjalanan Tahun ke 27

Hari ini, tumpukan buku di meja kerja masih berserakan tak beraturan. Kertas post pin warna warni yang berisikan target ini itu masih terpampang berderet. Di pojok, beberapa bungkus snack yang sudah berumur 3 minggu  masih bersisa. Tampaknya snack-snack malang itu harus bersabar menunggu lebih lama lagi karena jarang disentuh.

Manusiawi, ditengah kesulitan beban kuliah, kadang saya mengeluh.. Kadang bermuram durja, Tapi, kadang juga tertawa. Lebih tepatnya tertawa pasrah karena tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Pasrah menanti jawaban, apakah supervisor akan marah atau bahagia.

Hiburan yang paling efektif itu biasanya detik.com. Saya suka sekali media online ini. Percayalah, dengan membaca detik.com, kita akan belajar membaca jalan pikir manusia. Yang kadang lurus, absurd dan bengkok. Target yang saya tuju, sebenarnya bukan beritanya. Tapi komentar dari para pembaca. Sesekali coba buka berita rasial dan sensitif. Ah itu, lengkap sudah, komentar-komentar di portal berita itu sudah macam kebun binatang. Suka tidak suka, itulah karakter (sebagian) masyarakat kita.

Di tengah huru hara PhD, hari ini saya sadar sesadar-sadarnya. Betapa kebahagiaan yang besar harus dibayar dengan pengorbanan yang besar. Hidup itu adil, seimbang, patut dan pantas. Tidak ada orang kaya tanpa keringat dan air mata, tidak ada orang sukses tanpa jerih payah. Tapi setidaknya saya merasa bersyukur, Allah masih mengizinkan saya untuk berjuang meraih asa dan cita-cita.

22 September 2016, saya tepat berumur 27 tahun. Tahapan umur yang menurut sebagian orang adalah final kedewasaan, kematangan dalam berpikir dan saat yang tepat menanggalkan status bujangan.

Sebagai refleksi, banyak hal tak terkira yang saya lewati selama setahun terakhir. Momen yang membuat  saya  percaya, tanpa botol jin dan jun, keajaiban tetap bisa terjadi

Momen yang paling tidak disangka-sangka adalah bertemu dan berdialog langsung dg SBY, Jokowi, serta beberapa menteri. Memang hanya diskusi normatif tanpa substansi yang jelas, tapi minimal, saya paham. Jadi pejabat mutlak harus pintar.

Ada satu lagi keberuntungan saya di tahun ini, ketika tiba-tiba diundang makan malam dengan legenda Liverpool, Robbie Fowler, petinggi Garuda Indonesia dan petinggi Liverpool serta ketemu langsung dengan beberapa pemain Liverpool. Saking bejonya, pas lagi nonton di stadion, wajah saya ikut diliput TV. Telegu !!

Namun demikian, keberuntungan tidak selamanya datang menghampiri. Saya tak akan pernah lupa, sepulang kuliah, ban depan sepeda raib diembat maling. Sekali lagi, cuma ban depan !!!. Kampret benar itu orang, menzalimi anak kuliah tak berdosa.

Hari-hari yang paling berat adalah pada saat menjelang ujian PhD tahun pertama. 1 bulan sebelum ujian, research plan saya harus dirubah. Beberapa hari sebelum ujian, orang tua supervisor meninggal dan tidak dapat menghadiri ujian saya. Imbasnya, ujian tahun pertama saya harus ditunda. Tidak lama setelah itu, hanya 1 minggu sebelum pulang ke Indonesia saya kehilangan Kakek yang begitu saya kasihi. Semua terjadi hanya beberapa waktu menjelang rencana pernikahan.

Tapi, benar, dibalik kesulitan ada kemudahan. Ujian menerpa untuk melihat sejauh mana kekuatan kita mengalahkan ketakutan. Mengubah kepanikan menjadi senyuman, membalikkan masalah menjadi solusi. Dan memutar otak untuk tetap optimis.

14 July 2016, saya dinyatakan lulus annual review, 15 Juli 2016 saya sukses mengucapkan ijab Kabul. 18 Juli 2016 resepsi pernikahan saya berjalan dengan lancar dihadiri lebih dari 2500 orang.

Di hari yang paling bahagia ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua handai taulan yang terus mensupport saya tiada henti. Keluarga di kampung halaman yang terus menerus mendoakan saya sehabis shalat. Rekan-rekan satu perjuangan di kepengurusan PPI UK. Serta teristimewa untuk istri tercinta. atas kesabarannya yang tak kenal lelah menguatkan saya di saat menghadapi masalah.

Perjalanan masih panjang. Ilmu saya masih sangat dangkal. Masih terlalu banyak yang harus saya pelajari. 

Semoga Allah masih memberi saya waktu hidup bertahun tahun lagi, mendapatkan gelar doctor dan pulang ke Indonesia membayar investasi yang sudah dibayarkan negara.

Man shabara zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung !!

 

 Manchester, 22 September 2016

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha − 1 = 2