Ketika Bank Tidak Berpihak Pada Masyarakat Kecil

Beberapa hari setelah Kakek meninggal, saya menemukan beberapa lembaran rupiah yang disimpan dengan rapi dibawah tempat tidur beliau. Jumlahnya memang tidak banyak, tidak sampai satu juta rupiah. Prediksi kami sekeluarga, mungkin uang itu berasal dari hasil jual beli ternak yang beliau lakukan semasa hidupnya.
 
Kakek, dan begitu juga orang lain di kampung saya memang terbiasa menyimpan uang dirumah. Alasannya masuk akal. Bisa diambil kapan saja, praktis dan tidak perlu antri di Bank. Kebiasaan itu boleh jadi adalah kebiasaan dari sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di pedesaan. Layanan bank dianggap terlalu canggih, rumit dan tidak menguntungkan.
 
Baru-baru ini lembaga penelitian Financial Inclusion Insight (FII) melakukan survey terhadap masyarakat Indonesia. Hasilnya cukup mengejutkan, ternyata hanya 8 persen masyarakat miskin yang memiliki rekening di Bank. Apabila ditelusuri lebih detail, hanya 2.5 persen masyarakat kelas bawah yang pernah meminjam di Bank atau lembaga keuangan formal. Mayoritas masyarakat miskin masih bergantung pada keluarga, teman atau tetangga dalam hal kredit (58 persen). 18 Persen diantaranya berhutang pada tengkulak. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dari total keseluruhan orang miskin yang meminjam pada tengkulak, 44 persen diantara mereka tidak tahu berapa biaya pinjaman atau bunga yang harus dibayarkan.
 
Jika dibandingkan dengan masyarakat kelas atas, kondisinya jauh berbeda. Jumlah pemilik rekening bank dari kalangan orang kaya mencapai 43 persen atau sekitar 5 kali lipat dari jumlah pemilik rekening masyarakat miskin. Fakta lainnya, mayoritas orang kaya lebih memilih instansi perbankan untuk melakukan transaksi simpan pinjam, dan sebagian besar diantara mereka tahu berapa jumlah bunga yang harus dibayarkan dari setiap pinjaman yang mereka lakukan.
 
Data tersebut menunjukkan bahwa sistem perbankan di Indonesia sebagian besar baru dimanfaatkan oleh kalangan menengah ke atas. Dampaknya, dengan modal yang mereka miliki dan dukungan pihak perbankan, orang kaya bisa melipatgandakan kekayaannya berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan orang miskin. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan laju ketimpangan ekonomi sulit dibendung. Saat ini ketimpangan ekonomi Indonesia bahkan sudah mencapai angka 0.4, atau ketimpangan ekonomi tertinggi sejak beberapa dekade terakhir.
 
Untuk mengatasi hal ini, pada tahun 2010 yang lalu Pemerintah Indonesia mencanangkan program Gerakan Indonesia Menabung dan Ayo Ke Bank. Tidak tanggung-tanggung, Bank Indonesia saat itu bahkan menargetkan program tersebut bisa mengumpulkan dana hingga 50 triliun. Namun demikian, setelah hampir 6 tahun berlalu, tidak terdengar lagi gaung dari program tersebut.
Sebenarnya banyak faktor yang menyebabkan kurangnya minat masyarakat khususnya masyarakat miskin terhadap sektor perbankan. Mulai dari minimnya pengetahuan masyarakat tentang aspek perbankan hingga ketiadaan fasilitas perbankan di sekitar mereka.
 
Namun demikian, faktor yang paling fundamental adalah sistem perbankan yang memang tidak berpihak pada masyarakat miskin. Bagi bank-bank konvensional, sangat sulit untuk mengakumulasi modal dari masyarakat kelas menengah kebawah yang jumlahnya relatif kecil. Masalah yang lain, pihak Bank harus berjudi dengan pinjaman dalam jumlah kecil tetapi memiliki resiko kredit macet yang sangat tinggi. Sehingga pihak bank hanya memiliki dua pilihan. Pertama, menaikkan suku bunga pinjaman dan memperketat persyaratan jaminan atau kedua, tidak menawarkan kredit untuk usaha kecil sama sekali.
 
Hal tersebut menyebabkan banyak petani, nelayan serta pegiat Usaha Mikro, Kecil dan Menangah (UMKM) sangat sulit mendapatkan pinjaman perbankan. Bahkan meskipun mereka ditawarkan pinjaman berbunga rendah, agunan yang disyarakatkan oleh pihak bank seperti sertifikat tanah atau rumah biasanya sangat sulit untuk dipenuhi.
 
Fakta tersebut menunjukkan bahwa meskipun orang miskin sudah memiliki rekening bank sekalipun, belum berarti mereka sudah diuntungkan dengan fasilitas perbankan.
 
Lantas, apa yang harus dilakukan untuk memperluas akses perbankan bagi masyarakat miskin?
 
 
Sebetulnya tidak perlu dilakukan reformasi sistem perbankan Indonesia secara total, tetapi butuh adanya sentuhan kreatifitas kebijakan. Upaya Bank Jateng untuk mengucurkan kredit berbunga rendah hingga 2 persen adalah langkah yang patut diapresiasi. Bank Jateng bahkan sanggup menyediakan kredit tanpa agunan dan biaya administrasi. Untuk meminimalisir kredit macet, Bank Jateng bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi dan para pendamping yang ada di tiap Kabupaten. Apabila ini sukses dilakukan, dampaknya tentu sangat signifikan bagi peningkatan pendapatan masyarakat kecil, sehingga dalam jangka panjang bisa mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi.
Poinnya adalah, tetap ada peluang untuk menciptakan sistem perbankan yang pro masyarakat kecil selama ada kemauan dari pihak bank untuk memberi ruang kepada orang miskin. Terlebih lagi jika ada dukungan dari Pemerintah Daerah untuk bersama-sama mendukung program penyaluran kredit usaha rakyat. Sebaliknya, selama tidak ada keberpihakan dan terobosan kebijakan dari pengelola perbankan dan pemerintah untuk mengutamakan kepentingan rakyat kecil, cita-cita membangun sektor perbankan untuk kemakmuran rakyat hanya isapan jempol belaka.
 
Sedangkan bagi masyarakat kecil, ada baiknya tidak terlalu gelap mata dengan bank-bank besar di Indonesia. Sebelum membuka rekening di bank sebaiknya dipelajari dulu suku bunga simpanan maupun program simpan pinjam yang mereka tawarkan. Apakah sanggup memenuhi agunan yang disyaratkan untuk melakukan simpan pinjam? Apakah produk finansial yang ditawarkan itu menguntungkan atau tidak? Apakah akan menggunakan fasilitas internet banking, membayar tagihan listrik dan telepon via bank atau mengisi pulsa lewat ATM?
 
Apabila membuka rekening di Bank-bank konvensional hanya untuk menyimpan uang dengan saldo 1 juta rupiah sebaiknya pikir-pikir dulu. Dengan saldo sekian hanya akan mendapatkan bunga berkisar 3 persen atau sebesar Rp. 2000,- rupiah per bulannya, setelah dipotong pajak bunga bank. Bukannya bertambah, uangnya justru akan berkurang karena biaya administrasi bulanan bank konvensional biasanya lebih dari Rp. 10.000,- setiap bulannya.
Dengan logika ini, pilihan kakek saya untuk tidak menyimpan uangnya di Bank boleh jadi adalah pilihan yang tepat. Dengan uangnya yang tidak sampai satu juta, ditengah ketidakpastian pendapatan dan kesulitan untuk menabung rutin setiap bulannya, menyimpan uang di Bank dalam jumlah kecil justru merugikan.
 
Jika ini yang terjadi, sangat wajar, perbankan bukanlah institusi yang menarik bagi masyarakat kecil.
 
dipublish di Selasar, 2 September 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 29 − 21 =