Jika alam memberiku secercah kebahagiaan
Ijinjkan ku menikmatinya dalam diam
Jika kehidupan harus menyertaiku dengan rasa perih tak tertahankan
Berikan ku kesempatan untuk berjuang
Jika Engkau mamaksaku menggenggam keputusasaan
Berikan ku kekuatan untuk menahan air mata kesedihan
Jika Engkau mengujiku dengan bertahun-tahun pengorbanan
Berikanku sahabat hati dan pelindung dikala malam
Jika engkau menginkan jiwa ku dipisahkan dengan badan
Aku siap
Namun ijinkan ku tulis kenangan
Untuk anak-anak ku kelak, agar mereka sadar arti kehidupan
Bahwa perjuangan dan keimanan adalah pondasi kebahagiaan
Keduanya mengalahkan segala sakit dan pederitaan
Rumah adalah dunia
Awal dari cerita sementara
Untuk istana yang sebenarnya
In memoriam, Lukman Hakim, 3 Agustus 1967- 8 Oktober 2016
———————————————————————————————————————————————–
Selamat jalan makdang. Paman, sahabat, teladan, sekaligus pelindung hidupku.
Tubuh dan jiwa mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mareka dipisahkan alasan duniawi. Namun meski ruh berpisah dengan jiwa. Ruh tak akan mati. Hingga suatu saat kita dipertemukan lagi.
Allah punya kuasa untuk menentukan jalan hidup. Allah cukupkan perjuanganmu untuk hari yang lebih indah. Tak ada lagi sekat-sekat infus yang terhujung nadi. Takkan ada lagi kehawatrian akan darah pengganti. Takkan ada lagi lelah bosan di ruang bougenville. Takkan ada lagi rasa sakit. Semua akan penuh warna dan rona bahagia di alam sorga.
13 tahun beliau berjuang melawan sirosis hati. Penyakit yang selalu menemaninya di kala malam, pagi dan siang. Penyakit yang memaksanya untuk istirahat total, mengkonsumsi nasi bubur, dan makan obat secara rutin.
Selama ini, terlalu banyak momen yang tak bisa kulupakan. Bukan momen kesedihan, melainkan kisah perjuangan yang membuatku percaya, orang yang sakit belum tentu merasa sakit. Dibaliknya tersimpan harapan dan bahkan pancaran kebahagiaan.
Sepuluh tahun yang lalu vonis dokter telah dijatuhkan. Bahwa beliau tidak akan hidup lebih lama lagi. Bisa 1, 2 ataupun maksimal 3 tahun lagi. Bagi kami keluarga yang tidak mengerti dunia kedokteran, yang datang hanya kepasrahan. Mungkin inilah jalan Tuhan.
Tapi ternyata tidak untuknya. Tak ingin menyerah begitu saja, beliau terus berjuang melawan sakit. Sudah 350 kantong darah harus masuk ke dalam tubuhnya, ratusan kali ujung infus merobek nadinya, tapi beliau tetap kuat. Ternyata vonis dokter keliru, 13 tahun berjalan, penyakit itu belum juga mampu mengalahkannya.
Ada cerita tetangga di kampung yang sering sekali kudengar. Memang pak Lukman, “tanpa ajal berpantang mati”. Ungkapan yang sangat wajar, karena sudah banyak orang kampung meninggal tiba-tiba, baik tua maupun muda. Banyak juga sanak family yang melayat beliau saat di rumah sakit, sudah berpulang duluan dipanggil sang Khalik. Tapi Allah ternyata masih memberinya waktu.
Berbagai upaya pengobatan telah dicoba, mulai dari obat medik hingga herbal. Sudah banyak artikel ilmiah kami buka lembaran demi lembaran, mempelajari cara pengobatan sirosis hati. Tapi memang, sirosis hati sangat sulit disembuhkan. Tidak ada penderita sirosis hati yang sembuh total kecuali dilakukan pencangkokan hati. Namun demikian, pencangkokan hati untuk orang kecil seperti kami 1000 persen mustahil. Selain biayanya yang miliaran rupiah, di Indonesia baru ada 2 orang yang sukses melakukan cangkok hati. Pernah kuhubungi Dahlan Iskan, mantan menteri yang sukses menjalani pencangkokan hati di China, tapi tak berbalas. Meski berbagai upaya gagal dilakukan, selama ini saya tetap yakin beliau tidak akan menyerah dan akan bertahan lebih lama lagi.
Perjuangan beliau menghadapi cobaan, dan ketegarannya menghadapi penyakit mengingatkan saya pada kisah Nabi Ayyub yang dibacakan guru ngaji di surau dulu. Akhirnya kutemukan kisah ini di dunia nyata. Ternyata ada orang di dunia ini, yang meski diuji dengan penyakit yang begitu lama, tetap tabah dan begitu sabar menghadapinya. Meski dirundung rasa sakit selama 13 tahun lamanya, beliau hampir tidak pernah mengeluh dan tetap menjalankan shalat. Tak pernah sekalipun beliau meninggalkan shalatnya, meski hanya dengan berbaring dan bertayamum dari dinding-dinding rumah sakit.
Tidak hanya itu, salah satu wanita yang diceritakan dalam Al Qur’an, adalah Rahmah binti Ifrayin, istri nabi Ayyub yang sabar menemani suaminya disaat sakit. Ketabahan Rahmah juga sama halnya dengan istri beliau. Sudah tak terhitung lagi, hari hari sulit yang dilalui bersama ditengah dinginnya rumah sakit. Istrinya memberi semangat dengan sabar, mengusap kepalanya dengan lembut dan membisikkan lantunan ayat al-quran ditelinganya. Mungkin inilah salah satu alasan kenapa beliau bisa bertahan lebih lama.
Tapi, 8 Oktober yang lalu, Allah berkata lain. Allah mencukupkan waktunya.
Dihari beliau meninggal dipanggil sang pencipta. Saya protes kepada Allah, kenapa Engkau menguji orang-orang baik. Kenapa rasa sakit harus ditimpakan kepada orang-orang shaleh. Kenapa Engkau harus mengambil orang-orang yang sudah berjuang sekuat tenaga untuk bertahan hidup. Namun sekarang, saya menyadari, terdapat hikmah luar biasa dibalik semuanya. Tentang doa dan harapan yang disampaikannya kepada Sang Pencipta, bahwa sejak 13 tahun yang lalu, beliau sebenarnya telah siap untuk dipanggil sang Khalik, namun meminta waktu lebih lama untuk beribadah dan mendidik anak-anaknya.
Hari ini, saya teringat pada ucapannya 9 tahun yang lalu, ketika beliau bangkit dari fase kritis setelah mengalami Hematemesis. Beliau berujar, tidak akan pergi meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil sebelum ada didikan yang cukup dari orang tua.
Allah ternyata mengabulkan doanya. Doa yang dilantunkannya dengan tulus dalam diam di tengah hari-harinya di rumah sakit. Allah memberinya bonus waktu 13 tahun, kesempatan hidup yang hampir mustahil didapatkan oleh penderita sirosis hati.
Sekali lagi, Allah menyayanginya, memberikannya kesempatan mendidik anak-anaknya tumbuh besar dan memperdalam ilmu agama. Allah memberinya waktu untuk menunjukkan pada keluarganya bahwa beliau telah menyelesaikan tugasnya sebagai pemimpin keluarga
Tugas itu sudah diselesaikannya dengan baik. Dua bulan sebelum beliau dipanggil sang Khalik, ditengah kondisi sakit kronis beliau berhasil menuntaskan studi sarjananya dan diwisuda dengan predikat sangat memuaskan. Beliau seakan ingin menunjukkan pada anak-anaknya, bahwa tidak ada kata menyerah dalam menuntut ilmu. Beberapa waktu sebelum beliau meninggal, anak bungsunya (11 tahun) menjadi Juara Pertama Musabaqah Tilawatil Quran. Di hari saat beliau dipanggil sang khalik, anak tertua (17 tahun) telah siap menjadi imam untuk menyalatkan jenazahnya.
Ternyata inilah hikmah dibalik semuanya, Allah mengambilnya disaat yang tepat, disaat anak-anaknya telah siap secara ilmu dan emosional. Ku yakin satu hal, disaat maut menjemput, beliau tersenyum bahagia dari dalam hati, karena telah menuntaskan tugasnya sebagai seorang ayah.
Hari ini, engkau telah tiada, meninggalkan banyak cerita dan kenangan berharga. Sungguh engkau beruntung, karena janji Allah itu pasti, bahwa penyakit akan menggugurkan sekalian dosa. Insya allah Jannah menantimu di akhirat nanti.
Sirosis hati memang telah merusak nadi dan ragamu, tapi tak apa, kau telah memberikan hatimu yang paling suci kepada anak-anakmu. Kau telah berhasil mencangkoknya didalam sanubari kami.
Akan ku ingat erat semua kenangan bersamamu. Termasuk momen terakhir saat memeluk tubuh kurusmu, 2 bulan yang lalu, sesaat sebelum ku berangkat ke Manchester. Selama bertahun-tahun berjuang melawan penyakit, itulah kali pertama kulihat beliau menangis. Saat itu, mungkin beliau sudah merasakan itu akan jadi pelukan terakhir untukku. Pelukan hangat yang takkan pernah bisa kulupakan.
Di perjalanan, Indonesia –Inggris, 29 Agustus 2016, beliau mengirimkan pesan via whatsapp:
“Selamat jalan kemenakan tersayang, smga berhasil dalam karirmu dan berhasil dlm bembina kel. Samara. Klau umur makdang panjang kita bertemu lagi. Tp seandainya Allah berkehendak lain. Tolong bimbing adik2mu… ”
Hari ini, izinkanku balas semua doamu didalam setiap shalatku
“Selamat jalan makdang tersayang, smga bahagia disana dan diterima semua amalmu. Kalau umur ku panjang ku kan tepati janjiku membimbing adik2ku. Seandainya kita bertemu lagi, kuingin sekali menceritakan semua cerita hikmah dibalik perjuanganmu… ”.
Al fatihah. .