Ujang dan Tuhan

Hari itu Ujang senang bukan kepalang. Sohib lamanya, Odoy, pulang kampung dan berkunjung ke gubuknya. Sudah puluhan tahun mereka tidak bertemu. Nasib memisahkan mereka, Ujang terpaksa tinggal di kampung dan menjadi tukang ojek. Semua dilakukan agar bisa merawat Bapaknya yang sakit-sakitan.

Sementara Odoy pergi merantau ke tanah seberang. Nasib mujur, setelah sempat melanglangbuana melanjutkan sekolah di luar negeri. Odoy jadi pengusaha kaya.

Sebagai ungkapan persahabatan, Odoy membawa 1 set baju bola Real Madrid, bertuliskan “Zidane”. Cerita masa lalu mereka berdua mengilhami Odoy membawa buah tangan itu. Tahun 2006, Ujang pernah memukul kepalanya setelah Prancis kalah dari Italia. Pertengkaran yang awalnya sepele, karena Odoy terus-terusan mencemooh Bapaknya Ujang yang tak punya rambut, seperti Zidane.

Mendapat hadiah baju bola asli itu, Ujang senang bukan main. Meski masih ada sisa-sisa emosi zaman dulu, tapi tak apalah. Ditelannya dalam-dalam kisah pertengkaran itu.  

“Jang, apa kau masih jadi tukang azan Masjid?”, Odoy membuka pembicaraan.

Ujang sudah tahu betul maksud pertanyaan itu. Sikap Odoy yang suka meremehkan orang lain, tampaknya tak berubah.

“Sudahlah Jang,setiap hari, lima kali kau panggil orang kampung untuk shalat ke Masjid, yang datang tak lebih dari lima orang.Tahu maksudku Jang? Itu karena orang-orang tak lagi percaya agama. Dengarkan baik-baik Jang, hari ini,  tak usah kau bergantung pada Agama. Sekarang rejeki itu cari sendiri. Pakai otak Jang, pakai otak. Rezeki bukan urusan Tuhan. Lihat aku ini Jang, kerja kerasku membuahkan hasil. Aku belajar mati-matian sampai keluar negeri. Tak ada satupun teori ekonomi yang tak kupahami . Sisa gajiku, kuberikan anak yatim. Kubantu mereka-mereka yang kelaparan. Aku gak butuh Masjid Jang. Aku cuma perlu kekantor, baca trend IHSG, dan investasi sana-sini”.

Mendapat ocehan semacam itu, Ujang hanya diam, mulutnya bisu tak berani berdebat. Ujang tahu betul, ijazahnya yang hanya lulusan SMA belum pantas untuk mendebat ilmuwan lulusan Amerika. Dulu zaman SMA, Ujang pantang mundur beradu urat, berdebat dengan Odoy. Tapi sekarang, situasinya berbeda. Tukang ojek jelas tidak pantas berdebat dengan pengusaha kaya, begitu pikirnya.

“Doy, kenapa kau begitu anti dengan Islam? Bukankah dulu kita kawan sepermainan, bersama menghapal Ar Rahman, tidur dan mandi di Surau?”. Ujang berusaha menimpali.

“Oi Jang, awak sudah muak dengan agama. Tak ada Ustadz yang kupercaya jang, selain Ustadz Rizal yang pernah kita kerjai dulu. Sekarang Ustadz sudah sibuk mikir politik tapi lupa kepentingan umat. Mereka tak bisa menerima perbedaan Jang. Liat itu mereka, Syiah-Sunni mereka ributkan, agama lain mereka ributkan, padahal anaknya tak sembahyang. Sudah muak aku Jang dengan orang Islam, Munafik !!!”

Suasana gubuk Ujang tiba-tiba memanas, angin semilir dari sawah seberang tak mampu mendinginkan suasana.

“Odoy, janganlah kau sebut semua orang Islam munafik, sehingga kau jadi benci dengan Islam. Aku tak paham politik, aku cuma bisa azan, sembahyang dan puasa. Tapi Doy, kau harus ingat pesan Ustad Rizal dulu, Agama bukan warisan tapi tuntunan hidup. Agama tidak pernah mengajarkan kebencian”.

Oi Jang, Odoy menimpali dengan nada tinggi.

“Aku tahu toleransi bukan dari Agama Jang. Banyak orang tidak beragama tapi toleran. Eh asal kau tahu, coba kau buka facebook. Orang-orang beragama sibuk memaki-maki kepercayaan lain, seolah mereka itu yang paling benar !!. Aku tak mau sibuk dengan urusan itu Jang.

Satu lagi Jang, sekarang di Suriah itu sedang perang. Tadi malam, Dubes Rusia ditembak mati. Tahu kau jang, mereka membunuh dengan teriak nama Tuhan. Mereka yang katanya beragama tapi menumpahkan darah. Itu kenapa?, karena mereka tak pake otak, mereka tidak paham bahwa mereka dibohongi kaum imperialis. Makanya Jang, kubilang, tak usah bicara agama, zaman sekarang itu butuh otak!!”

Ujang hanya bisa terdiam, Ujang memang tak tahu soal Suriah. Setiap pagi dia harus ke Masjid, kemudian ke ladang dan sorenya mangkal di pangkalan ojek pasar Kamis. Tak ada lagi waktu untuk membaca koran, apalagi facebook. Uang juga tak pernah cukup untuk membeli kuota internet karena sudah habis terpakai untuk obat rutin Bapaknya setiap bulan.

Tapi, perkataan Ujang benar-benar menusuk jantung hatinya. Pertemuan itu ternyata jadi ajang penghakiman. Odoy seakan-akan datang jauh-jauh dari rantau hanya untuk memaki-maki bahwa Ujang tak punya otak.

Hari itu sudah lewat pukul 4. Ujang terpaksa harus ke Surau. Tugas jadi tukang azan harus tetap dilakoninya.

“Doy, ayok ke Surau, aku ingin liat kau pakai kopiah lagi”. Ujang masih berupaya merayu Odoy.

“Maaf Jang, aku harus pergi. Bukan karena aku sudah kafir, tapi banyak hal lain yang perlu kukerjakan”.

Pertemuan di gubuk itu, benar-benar jadi pertemuan terakhir mereka. Itu terjadi di tahun 2016. Sejak saat itu, mereka tidak pernah lagi bertemu. Pernah Odoy mengundang Ujang untuk datang ke Jakarta, tapi undangan itu tak berbalas. Ujang tak kuat lagi dihina-hina.

Akhir tahun 2019, Ujang mendapatkan kabar dari Kepala Desa. Bahwa Odoy meninggal akibat kanker yang dideritanya. Harta ternyata tidak mampu menyelamatkannya dari maut. Odoy tak pernah berwasiat apapun. Tetapi keluarganya tetap bersikukuh supaya Odoy dimakamkan secara Islam dikampung halamannya.

Sebagai penunggu Masjid, Ujang diminta untuk menyiapkan penyelenggaraan jenazah. Sore itu, Ujang azan dengan suasana yang tidak biasa. Bukan hanya memanggil orang kampung untuk datang ke masjid, tetapi juga mengharap malaikat turut datang untuk mendoakan jenazah sahabatnya.

Tidak banyak keluarga Odoy yang datang untuk menyalatkan jenazahnya. Untungnya, tetap ada lima orang jamaah surau yang datang di tengah hujan deras sore itu.

“Oi Jang, pakailah baju yang sopan. Jangan kau menghadap Tuhan dengan menggunakan baju bola. Kau pikir, surau ini lapangan bola?”  Mak etek Sari, yang terkenal garang di kampung itu menegur Ujang.

Sambil menyeka air matanya, Ujang berseloroh.

“Tak apalah Mak, dengan baju ini aku sadar, harta dan kehidupan dunia takkan bisa menyelamatkanku dari maut. Dunia dan kepopuleran hanya sementara. Tak butuh sekolah tinggi untuk ingat tentang agama dan Tuhan. Baju inipun sudah cukup mengingatkanku, bahwa aku butuh agama, aku butuh Tuhan”.

 

7 thoughts on “Ujang dan Tuhan

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 92 − = 91