Haruskah Pilkada Dikembalikan Lewat DPRD ?

Bagi orang-orang yang mencintai kebenaran, mereka tentu mencari-cari satu cara baru yang suci, bersih dan mulia. Apakah tidak ada lagi sistim pemilu di Indonesia ini yang bisa melahirkan kebenaran dan kemuliaan sehingga manusia yang tidak bergelimang harta tidak kalah dari penjahat demokrasi bermodalkan uang melimpah?. Masalahnya, apakah betul pemilihan umum secara langsung ini melahirkan pemimpin (kaya ataupun miskin) yang benar-benar dicintai rakyat?. Jika seandainya rakyat di kawasan itu mayoritas berprofesi sebagai petani yang hidup ala kadarnya kemudian menginginkan kesejahteraan dan kepala daerah yang senantiasa memperjuangkan nasib mereka, apakah wakilnya juga memiliki keinginan yang sama ? Ataukah pemimpinnya malah meninggalkan kepentingan mereka dan berupaya secepatnya mengembalikan uang miliaran yang telah mereka habiskan untuk dana kampanye?. Itulah yang terjadi hari ini. Di satu kawasan yang mayoritas orangnya tidak berpunya, maka wakil yang menjadi pemimpin atas suara mayoritas itu malah biasanya orang kaya. Kalaupun orang miskin menjadi calon di sana, pasti kalah, meskipun dia berasal dari kalangan mayoritas. Sederhana, karena tidak punya banyak uang. 

Paragraf diatas adalah penggalan karya ilmiah yang saya tulis 4 tahun yang lalu dengan judul Pilkada (Bukan) Untuk Orang Miskin. Karya ilmiah yang sempat dikritik salah satu Professor di UGM, karena menganggap saya tidak paham apa itu esensi pilkada dan partai politik, dan sekaligus menjadi saksi kegagalan saya dalam mahasiswa berprestasi. Meskipun argumen beliau juga tidak begitu berbobot.

Tapi setidaknya saya bahagia saat itu, sudah berani menyampaikan gagasan dengan beberapa teori dengan logika akademik pas-pasan. Sejujurnya yang terpikirkan saat itu hanyalah ketakutan bagaimana caranya membayar kegagalan sebuah pemilihan seorang pemimpin yang notabene esensi dasar dari sebuah bangunan organisasi. Dan hari ini, 25 September 2014, ketakutan itu benar-benar terjadi. Sistem pemilihan umum telah menjadi polemik yang membahayakan bangsa ini.

Agaknya tidak berlebihan saya menyebutnya “membahayakan”. Betapa tidak, hari ini polemik Pilkada Langsung atau Tidak Langsung diputuskan melalui VOTING di DPR. Ya, VOTING, sebuah cara yang sebetulnya hanya dimaklumkan ketika musyawarah yang dilakukan benar-benar buntu. Sebuah cara yang hanya boleh diambil setelah tidak ada lagi pertimbangan akademik yang lebih baik. Tapi kenyataannya hari ini, keputusan diambil 1000 persen bukan atas dasar pertimbangan akademik, melainkan realitas politik. Bagi anda yang mengikuti perkembangan politik hari ini pasti paham, mengapa koalisi merah putih (Golkar, PAN, PPP, PKS, Gerindra) mendukung pilkada melalui DPRD. Sederhana, mereka kelompok yang kalah dan mengincar jabatan gubernur di 31 Provinsi di Indonesia. Mereka pasti sumringah karena keliatannya hal itu menjadi kenyataan, mengingat Koalisi Merah Putih menguasai DPRD di 31 Provinsi di Indonesia.

 Apa yang sebenarnya terjadi. Mari sejenak tinggalkan ranah politik, dan berbicara dari sudut pandang akademik, karena saya yakin anda juga sudah muak dengan kata kata “politik”. Tidak ada salahnya kita mengingat kembali tentang apa sebenarnya tujuan pemilihan umum. Pertama sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan. Kedua, pemilihan umum juga mekanisme memindahkan konflik-konflik kepentingan (conflict of interest) dari masyarakat ke badan-badan perwakilan rakyat melalui wakil-wakil yang terpilih atau partai. Ketiga, pemilihan umum merupakan sarana memobilisasi, menggerakkan dan menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.

Sistim pemilihan umum di Indonesia sendiri saat ini dilaksanakan secara langsung (electoral vote). Sistim pemilihan langsung ini selain menghasilkan presiden, wakil presiden dan kepala darah terpilih, juga akan menentukan para wakil rakyat yang mengacu pada sistim bikameral (bicameralism). Namun demikian, sistim keterwakilan tersebut selama ini memiliki kelemahan masih rendahnya legitimasi publik atas wakil rakyat terpilih. Hal itu terjadi karena masyarakat tidak pernah merasa mewakili aspirasinya kepada wakil rakyat terpilih. Disamping karena kesenjangan komunikasi politik antara wakil rakyat dengan konstituennya, juga disebabkan karena alasan sebagian besar masyarakat memilih wakil rakyat tersebut bukan atas dasar pertimbangan aspirasi politik mereka, melainkan karena alasan-alasan tertentu yang bersifat subjektif, seperti politik uang dan popularitas calon.

Namun kemudian yang menjadi persoalan adalah, dengan segala kekurangan, apakah pemilu secara langsung itu harus dirubah dan dikembalikan kepada sistem Pilkada melalui DPRD ?. Jawaban saya, Tidak !!

Dipilihnya kembali pemilihan kepala daerah melalui DPRD jelas-jelas mengingkari akal sehat. Bagaimana bisa, bangsa ini kembali menerapkan sistem keterwakilan yang jelas-jelas tidak cocok dengan kondisi sosial kultural masyarakat Indonesia saat ini. Pemilihan umum melalui DPRD telah terbukti melahirkan eksternalitas negatif berwujud korupsi dan nepotisme.

Analoginya sederhana, Ketika 14 tahun yang lalu anda masih menggunakan intel pentium, dan hari ini sudah memakai windows 8, apakah anda serta merta kembali menggunakan intel pentium karena windows 8 ternyata banyak masalah ?. Tentu saja tidak, jawaban yang paling bijak adalah, menemukan solusi dari kelemahan sistem yang kita pakai saat ini.

Tapi realitas yang terjadi hari ini elit-elit partai seakan kehilangan jati diri, menggadaikan nurani dan akal sehat demi sebuah kepentingan poitik, bukan atas dasar kepentingan berbangsa dan bernegara.

Solusi saya atas persoalan ini sederhana, dan masih sama persis seperti yang saya dengungkan 4 tahun yang lalu di depan beberapa professor UGM. Perbaiki sistem pemilihan umum secara langsung, dan membentuk sistem yang memungkinkan orang yang tidak berpunya menjadi seorang pemimpin !!.

Apakah itu bisa ?. Sangat bisa !!!

Salah satu institusi fundamental yang harus dioptimalkan adalah KPU. Saya akan jabarkan dengan lugas

Hari ini biaya pilkada sangat mahal bukan ?. Para calon wakil rakyat harus mengeluarkan uang yang sangat besar untuk membiayai mesin politik mereka. Mulai dari penyetoran uang kepada partai politik, honor tim sukses, atribut kampanye hingga penyuapan yang terpaksa harus dilakukan kepada sekelompok masyarakat.

Kampanye politik yang dibebankan kepada calon kandidat dan partai politik inilah yang menjadi akar permasalahan yang sesungguhnya tentang mengapa pilkada langsung memunculkan biaya tinggi. Karena partai harus mengalokasikan anggaran yang sangat banyak untuk melaksanakan kampanye terbuka.

Jika demikian, kenapa bukan KPU saja yang menyelenggarakan kampanye ?

Dalam Bab II Pasal 4 UU No. 10 tahun 2008, sebetulnya teah menyiratkan bahwa KPU bertanggung jawab dalam setiap pnyelenggaran pemilu.

Kedepan kampanye politik para calon kandidat harus difasilitasi oleh KPU.

Idenya, lakukan pembatasan kampanye secara terbuka.

Pembatasan yang dimaksud adalah dengan memberikan waktu kampanye terbuka kepada partai politik untuk memperkenalkan calonnya kepada masyarakat hanya dalam kurun waktu sebelum memasuki waktu satu bulan sebelum pemungutan suara dilakukan. Sedangkan fase waktu satu bulan sebelum pemungutan suara, sepenuhnya menjadi tanggung jawab KPU.

Jika hal ini diterapkan setidaknya bisa meminimalisir kampanye terbuka yang dilakukan secara besar-besaran oleh partai politik yang kemungkinan bisa menyedot anggaran dalam jumlah besar. Dan di sisi lain hal ini juga akan sangat menguntungkan partai-partai kecil karena mereka tidak hanya bertumpu pada kampanye partai tetapi juga bisa mengharapkan kampanye calon yang diselenggarakan oleh KPU. Secara demokratis, hal ini jauh lebih adil karena sistim politik dilaksanakan secara adil dan terbuka dengan mengedepankan kapabilitas calon kandidat, bukan atas besar kecilnya anggaran partai politik.

Jangka waktu satu bulan sebelum pemungutan suara dapat dimanfaatkan oleh KPU untuk melakukan kampanye para kandidatnya secara langsung kepada masyarakat. Para kandidat baik independen maupun berasal dari partai memiliki kesempatan yang sama dan tanpa biaya, berkampanye di tengah masyarakat. KPU bisa saja langsung turun ke masyarakat dan mengumpulkan masyarakat di suatu daerah untuk bersama-sama mendengarkan kampanye kandidat, menyeleksi wakil rakyat dan berdialog dengan para calon wakil rakyat tersebut. Bahkan kapan perlu, KPU menyelenggarakan kampanye di tengah sawah, atau door to door untuk memperkenalkan calon kepala daerah. Hal ini jauh lebih efektif untuk menggambarkan kualitas calon wakil rakyat yang sesungguhnya kepada masyarakat.

Tapi hari ini, palu sudah diketok. Saya hanya berharap pepatah nasi sudah menjadi bubur tidak berlaku kali ini. Semoga polemic ini bisa segera ditemukan jalan terbaik dan menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini.

Meski kenyataanya, hari ini, pemikiran Machiavelli memang terbukti, “political is seen slyly to manipulate a given situation to their own advantage by means of shrewd political insight”.

Tapi, saya punya hak untuk tidak percaya Machiavelli, bagi saya politik beririsan erat dengan kedalaman hati, pengorbanan dan keneragawanan.

Saya masih memimpikan elit-elit bangsa ini bisa menanggalkan segala kepentingan, berpikir dari dalam hati. Tidak melihat siapa anda dan siapa kami, kiri atau kanan, memaknai politik sebagai tanggung jawab ilahi, karena bersamanya nasib 220 juta rakyat bangsa ini dititpkan.

Karena ketika egoisme kepentingan menjadi panglima, hanya akan ada pemimpin bangsawan berdarah biru yang terbelenggu proses politik.

Bangsawan itu hanya menjadi gajah-gajah besar yang berkeliaran tak tentu arah di tengah ladang para masyarakat miskin. Menendang, menginjak dan berjalan seenaknya tak tahu arah, seperti Raja Jhon yang menindas rakyatnya dalam film Robinhood.

Politisi senayan boleh saja berargumen, bahwa kita tidak boleh menafikan bahwa itulah fakta politik hari ini, bla bla bla, tapi dari hati yang paling dalam, saya yakin mereka sadar sesadarnya apa yang seharusnya menjadi jalan terbaik dan apa yang seharusnya mereka lakukan

Entah apa yang salah di negeri ini,

Tapi ya sudahlah, untuk malam ini, tutup jendela, bangun pagi dan belajar lagi. Cuma itu cara terbaik meredam kegeraman dan kegelisahaan hari ini

Sambil mengingat jelas wajah sang professor, saya lampirkan gambar sistem pemilu yang saya sampaikan 4 tahun yang lalu.

Dan berharap sekali beliau “juga” turun tangan menengahi masalah ini, agar kami lebih paham apa itu esensi pilkada dan partai politik.

indonesia israel

7 thoughts on “Haruskah Pilkada Dikembalikan Lewat DPRD ?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 17 + = 24