Aku-Papua (Chapter 3 – Ini Papua Bro)
. .menjelang malam kapal bersandar di Pelabuhan Manokwari, ibukota provinsi Papua Barat.
Kotanya tidaklah luas, deretan rumah dan bangunan berjejeran di pinggir pantai. Barangkali sama persis dengan deretan rumah di pinggiran laut Kulon Progo atau di Pariaman. Hanya satu perbedaan paling mencolok, gunung perbukitan kokoh membelah tengah kota.
Yang kuingat, kami masih menyempatkan diri berfoto bersama anak-anak Papua yang mandi berloncatan di pinggir dermaga. hingga akhirnya 5 mobil offroad double gardan utusan Bupati datang menjemput kami untuk diantarkan menuju Bintuni. .
Waktu itu, hanya terjadi percakapan singkat bersama sang sopir sebelum berangkat ke Bintuni. Tapi sungguh menyakitkan !! Terutama ketika sang sopir bilang, butuh 10 jam lagi untuk sampai Bintuni kalo tidak hujan !!
Mampus. .Seketika tulang-tulang lunglai kembali. Otot mengendur dan mata tiba-tiba sayu. Ternyata perjalanan belum usai !! Bagaimana kalo hujan ? butuh dua hari lagi ? tiga hari ? atau satu bulan sekalian !!!
Tapi terus terang, beratnya perjalanan saat itu terus terang bukan hanya tentang lamanya jarak tempuh yang harus kami lewati. Tapi yang jadi masalah, selama dijalan, kami serasa diaduk dalam kotak korek api karena kondisi jalan nya yang rusak parah naudzubilah. Aspalnya berwarna coklat lembek (baca: lumpur). Mobil kami harus melewati beberapa sungai tanpa jembatan. Beberapa kali kami harus keluar dari mobil karena mobil tidak bisa bergerak akibat terjebak dalam lumpur. Ku membayangkan, apa jadinya kalau Avanza melewati jalan itu. Haha, mungkin butuh satu minggu, pas nyampe udah kayak rongsokan traktor !!
Kawan. banyak cerita yang kami lewati selama di perjalanan. Mulai dari sopir mobil yang dengan polosnya bercerita bahwa dia adalah mantan napi kasus pembunuhan, belum lagi suasana mencekam ketika mobil kami di stop oleh penduduk lokal dan dipalakin uang.
Hari pertama di Papua, pikiranku sudah mulai bolak balik bercampur aduk. Logika ini seperti diputarbalikkan, seperti jarum kompas yang sekelilingnya ada medan magnet. Sambil mengingat-ingat kembali memoar waktu kecil dulu, jalan lumpur itu persis sama dengan jalan tanah yang harus ditempuh untuk mencapai kampung kecilku di Sumatera Barat. Tapi, itu masa lalu, hari ini jalan kampungku sudah beraspal beton. Kenyataan itu terjadi sudah 20 tahun yang lalu !!
Bagaimanapun juga, logika buruknya infrastruktur disana tetap saja tidak masuk diakal. Jalan Manokwari-Bintuni yang kulewati adalah adalah jalan lintas provinsi. Bukan jalan kampung !!. Sederhananya, anda bisa bayangkan jalan Jogja-Bantul, Semarang-Rembang atau Padang-Bukittinggi. Ketidakadilan? Ironi ?, Ya, bisa jadi adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi ini. Tapi ku lebih suka memilih kata “bangsat” untuk pemerintah Soeharto yang sudah membiarkan ini terjadi puluhan tahun lamanya.
Anda bisa bayangkan dampaknya. Tak akan ada truk tengki merah putih pertamina yang bisa melewati jalan lumpur semacam. Pedagang sayur, beras, kacang, minyak goreng harus berjibaku dengan lumpur jika ingin berdagang di Papua. Dampaknya jelas !!, harga BBM 20 ribu per liter, pasar di Bintuni tidak akan kompetitif. Bintuni bahkan mungkin juga daerah Papua lainnya menjadi kawasan tertutup. Seperti dunia lain didalam dunianya Indonesia.
Entahlah, yang penting kami selamat. Alhamdulillah hidup !! bernyawa, tanpa kurang sedikitpun.
Keesokan harinya kami sampai di Kampung kecil Iguriji dan merebahkan badan di sebuah rumah kayu yang disediakan pemerintah khusus untuk kami. Setelah sempat terlelap. Hari itu juga kami memulai-hari-hari penuh haru, kebahagiaan, kesedihan, dan penuh persaudaraan bersama masyarakat Papua.
Cerita penuh haru yang terus membangkitkan rasa semangat ku hingga saat ini. Cerita tentang kontradiksi kehidupan yang memberiku kekuatan tentang impian, bahwa kelak ingin rasanya berbakti untuk bumi pertiwi.
Hari kedua di Papua, adalah pertama kali kami bertegur sapa dengan penduduk lokal. Saat itu, ku terus teringat petuah dosen sebelum berangkat ke Papua. “kamu temui kepala desa, kepala adat dan bergaul dengan baik dengan masyarakat, jangan pernah tabrak anjing atau babi atau sekedar melukai binatang disana, kalo tidak mau didenda secara adat berjumlah ratusan juta”.
Bermodalkan percaya diri selangit, dengan yakin, kami mulai berjalan keliling kampung bersosialisasi dengan penduduk lokal.
Saat kugoreskan tulisan ini, kuhanya tersenyum membayangkan betapa sombongnya kami saat itu. Kami berjalan bak turis di kampung orang. Beberapa temanku beratribut kamera DSLR terbaru, tersandang di leher, lengkap dengan sepatu gunung dan topi koboi, hingga satu kampung memandang tajam kearah kami. Kami datang seperti malaikat tak bersayap, berjalan penuh isyarat, seakan mengatakan “hei kalian, kami akan datang merubah kampung ini dan membawa perubahan”
Kuakui saat itu, kami adalah orang-orang terbaik. Kami kaum terpelajar. Kami orang kota. Kami sarjana. Dan menuntut ilmu dari kampus terbaik dari professor hebat berteorikan Adam Smith, Trias Politica hingga Herodotus. .
Dengan besar kepala, kubuka pembicaraan pertama dengan kepala desa, Frans Iba. Kira-kira begini bunyinya:
“Kami ingin menginisiasi pemberdayaan masyarakat baik itu dibidang pendidikan, ekonomi dan budaya. Kami mengharapkan dukungan dari Bapak untuk mengimplementasikan kegiatan tersebut blab la bla . . . .”
Tanpa sadar, beberapa kata-kata canggih keluar dari mulutku, semacam Implementasi, kebijakan, pemberdayaan, program, bahkan kebudayaan. Kuingat, saat itu kuberlagak layaknya cendekiawan hebat. Dengan modal kata-kata yang tersusun rapi, plus selipan kata-kata jurnal, kuanggap sebagai lambang kepintaran. Karena dengan itu, kuyakin saat itu kepala desa itu akan mendengarkanku dan minimal percaya apa yang kukatakan.
Tapi kawan, tahukah apa yang terjadi. Setelah 10 menit “berdialektika” didepan kepala desa, kepala desa hanya diam tanpa sepatah katapun. Diam sediam diamnya !!. Ku sempat menghentikan pembicaraanku. Hingga satu ruangan rumah itu hanya hening tanpa sepatah katapun.
Sempat terbersit, apakah dia marah?. Apakah dia tersinggung? Apakah ku akan didenda ratusan juta karena meninggung perasaan kepala desa? Oh tidak, ini baru pandangan pertama.
Yang jelas butuh beberapa menit untuk mengembalikan pikiranku saat itu. Hingga akhirnya kusadar-sesadarnya. Bahwa ku tak lebih hanya orang bodoh bertindak seperti orang bodoh.
Sejurus kuulangi kata-kataku, dengan logat tukang ojek di kampung. .
“kami dari jawa !!, kami ingin tinggal disini !! kami ingin bantu papa mama disini !!”
Tiba tiba dia tertawa sangat keras. .dan berkata iya !!
Hahaha. Darah di jantung ini serasa mulai mengucur kembali. .akhirnya. . akhirnya. . akhirnya. . ya Allaaah. .
Hingga kemudian salah seorang temanku mengetuk pundakku, seraya berbisik.
Ini Papua bro. .
Bersambung