Petani Kecil di Titik Nadir

Pagi itu menjadi hari yang berbeda bagi Enda. Enda terpaksa harus menebang puluhan pohon karet yang telah ditanamnya beberapa tahun yang lalu. Tidak ada yang salah dengan tanaman karet itu, kualitasnya baik dengan kandungan air yang relatif sedikit. Pohon-pohon itu juga tumbuh dengan subur di lereng kebun belakang rumahnya. Hanya satu yang salah, semakin anjloknya harga karet memaksanya untuk memutar otak, beralih pada sektor perkebunan yang lain.

Namun demikian, peralihan tanaman perkebunan juga bukan perkara mudah. Harga bibit kacang, ataupun jagung, sebagai tanaman alternatif masih tergolong mahal. Keterbatasan modal memaksanya harus berutang sana-sini. Meminjam uang ke perbankan juga sulit. Selain lokasi institusi perbankan yang hanya terdapat di kota, tidak ada bank yang mau meminjamkan uang tanpa surat jaminan. Sesuatu yang tidak mungkin bisa dipenuhinya.

Rasa frustasi yang dialami Enda juga dirasakan oleh banyak petani lainnya di Indonesia. Petani sawah di Kabupaten Majalengka misalnya, harga gabah kering giling merosot tajam hingga mencapai Rp 220.000 per kuintal, jauh dibawah harga pokok produksi. Hal ini semakin diperparah dengan terus melonjaknya harga pupuk urea dan ponska. Secara tidak langsung hal itu akan berdampak semakin rentannya petani dan memperparah tingkat kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia.

Hari ini, sudah hampir tiga tahun Jokowi berkuasa. Pada awal pemerintahannya, Jokowi pernah menjanjikan meningkatkan kepemilikan petani atas tanah pertanian menjadi rata-rata 2 hektar. Pemerintah menargetkan redistribusi 9 juta hektar tanah pada tahun 2019. Kebijakan ini dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Akan tetapi , rentang tahun 2015-2016, baru 187.265 hektar tanah yang berhasil didistribusikan.

Adapun program yang patut diapresiasi adalah pembangunan 49 waduk besar dan 30 ribu embung air di seluruh tanah air. Secara kasat mata memang terjadi peningkatan produksi pertanian Indonesia selama beberapa waktu terakhir.  Data BPS menunjukkan PDB sektor pertanian kuartal pertama 2017 meningkat 7,12 persen dibandingkan kuartal yang sama 2016. Akan tetapi, penting untuk dicatat, pertumbuhan itu tampaknya hanya dinikmati oleh para cukong, tengkulak,  dan pemburu rente. Faktanya, tingkat kesejahteraan petani nasional justru semakin mengkhawatirkan. Indikator yang biasa dipakai untuk mencerminkan kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP), yaitu dengan mengidentifikasi indeks harga yang diterima petani dibandingkan dengan harga yang dibayar petani. Tabel 1. menunjukkan NTP nasional yang berkisar 101.474 pada awal pemerintahan Jokowi mengalami penurunan hingga 98.635 poin (Data BPS). Data ini menunjukkan bahwa klaim keberhasilan pembangunan pertanian yang telah dilakukan patut dipertanyakan.

Penurunan tingkat kesejahteraan petani terjadi hampir di seluruh sektor pertanian khususnya petani holtikultura, petani peternakan, petani tanaman perkebunan, dan peternak budidaya ikan. Satu-satunya sektor yang menunjukkan tren positif adalah kesejahteraan nelayan yang meningkat cukup signifikan (table 2). Kebijakan Kementrian Kelautan dan Perikanan dibawah kepemimpinan Susi Pudjiastuti terbukti ampuh meningkatkan hasil tangkapan nelayan yang berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan nelayan.

Tabel 1

Table 2

Petani semakin tidak berdaya

Membangun pertanian Indonesia memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi, keberpihakan jelas dibutuhkan. Sayangnya, anggaran untuk sektor pertanian pada tahun 2017 justru dipangkas hingga 3.9 triliun. Padahal, Indonesia masih membutuhkan sekitar  43 ribu penyuluh tani. Tingkat kesejahteraan penyuluh tani honorer dan kontrak juga masih jauh dari ideal. Mereka hanya digaji 10 bulan meskipun bekerja setahun penuh. Ini belum termasuk persoalan keterlambatan gaji serta minimnya dukungan operasional. Padahal mereka adalah garda depan pembangunan pertanian, yang harus berkubang tanah mondar-mandir menghampiri petani melakukan pendampingan.

Ironi lain yang tidak kalah pentingnya adalah lemahnya organisasi petani. Tidak ada gerakan politik yang efektif dari kelompok petani untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Di tingkat lokal, jumlah petani yang tergabung dalam organisasi formal masih sangat sedikit. Kalaupun ada, organisasi petani tidak disertai dengan manajemen organisasi yang baik. Pada tataran nasional, organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai induk gerakan petani nasional justru menjadi ajang pertarungan para elit-elit politik. Naasnya, mereka adalah orang-orang yang tidak paham pertanian dan tidak memiliki latar belakang sebagai penggerak sektor pertanian.

Mengurai Benang Kusut

Pembisik Jokowi pasti tahu bahwa pertanian adalah pondasi sosial ekonomi masyarakat. Pertanian adalah sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Mengabaikan sektor pertanian sama saja membiarkan jutaan rakyat hidup dalam kemiskinan. Menurunnya kesejahteraan para petani menunjukkan ada sesuatu yang salah dengan program penyuluhan pertanian. Oleh karena itu penguatan interaksi partisipatif antara penyuluh tani dengan para petani harus dilakukan disamping meningkatkan kesejahteraan penyuluh pertanian. Disisi lain, percepatan reformasi agraria, peningkatan subsidi bibit dan pupuk serta peningkatan harga dasar gabah harus terus didorong oleh pemerintah.

Namun demikian, pemerintahan Jokowi hanya memiliki waktu 2 tahun hingga pemilu berikutnya. Akhir tahun depan, konsentrasi pemerintah berkuasa jelas akan terpecah menghadapi pemilu dan gonjang-ganjing politik. Artinya, pemerintahan saat ini hanya memiliki sedikit waktu untuk memutarbalikkan kondisi kesejahteraan petani.

Hingga saat ini, petani masih terpinggirkan dari proses pembangunan. Menariknya, melihat peta politik saat ini, Jokowi dengan karakternya masih memiliki branding sebagai pemimpin yang peduli rakyat kecil dan disukai oleh sebagian besar petani. Hanya saja, para petani harus sadar. Memilih pemimpin dengan bermodalkan subjektifitas emosional bisa menimbulkan malapetaka. Disamping karena bisa membutakan daya nalar terhadap kinerja pemerintah, para petani akan kehilangan nilai tawar terhadap kebijakan yang jelas-jelas merugikan petani. Pencitraan tidak akan berdampak apa-apa tanpa disertai kinerja dan keberpihakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

WC Captcha 48 + = 56